Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) Dorodjatun Kuntjoro-Djakti dan mantan Menteri Negeri BUMN Laksamana Sukardi akan dihadirkan bersama-sama dalam sidang untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung pada Senin (16/7).

"Karena keterangan saksi banyak menyebut atau `merefer` ke orang lain, agar saksi Dorodjatun tidak bolak-balik ke persidangan maka kami usulkan agar kesaksiannya digabung dengan keterangan Laksamana Sukardi," kata penasihat hukum Syafruddin, Ahmad Yani dalam sidang di pengadilan Tindak Pengadilan Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Dorodjatun hari ini sudah hadir di persidangan untuk menjadi saksi Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) 2002-2004 Syafruddin Arsyat Temenggung yang didakwa bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Djakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) serta pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang merugikan keuangan negara Rp4,58 triliun.

Atas usulan penasihat hukum itu, jaksa penuntut umum (JPU) KPK menyetujuinya.

"Kami menyetujui penundaannya melalui majelis hakim, kami usul Kamis (19/7)," kata JPU KPK Haerudin.

"Saya berhalangan kalau Kamis karena mau ke bandara sorenya. Jadi Bapak Dorodjatun karena kesaksian saudara berkaitan dengan yang disebut penasihat hukum, dari pada dua kali datang karena mau dikonfrontir maka untuk saudara kesaksiannya ditunda Senin, 16 Juli, jadi ini panggilan resmi saudara hari Senin hadir memberi keterangan, saudara boleh pulang," kata ketua majelis hakim Yanto.

Dorodjatun pun meninggalkan ruangan persidangan. Sidang dilanjutkan dengan memeriksan satu orang saksi yaitu mantan Deputi Aset Manajemen Kredit (AMK) BPPN Muhammad Syarial.

Dalam sidang 5 Juli 2018 lalu, mantan Ketua KKSK Kwik Kian Gie sempat mengungkapkan bahwa Dorodjatun dan Laksamana Sukardi pernah menghadiri beberapa rapat yang menghasilkan penerbitan Inpres No 8 Tahun 2002 di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri saat itu tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor BLBI. yang telah menyelesaikan kewajibannya.

Pertemuan itu pertama dilakukan di kediaman Presiden kelima Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar yang dihadir saat itu Menko Ekui Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, Jaksa Agung MA Rahman dan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie membahas SKL obliogor kooperatif.

Hasil keputusannya ada penerbitan SKL untuk obligor yang kooperatif. Tapi Kwik menolak karena berpendirian obligor yang mendapat SKL bila uang yang terutang ke negara benar-benar masuk ke kas negara. Kwik beralasan rapat itu tidak sah karena tidak ada undangan tertulis, tidak dilaksanakan di Istana Negara sehingga Megawati membatalkan rapat itu.

Rapat kedua dilakukan di Istana Negara yang dihadiri oleh Menko Ekui Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, Jaksa Agung MA Rahman dan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie membahas pemberian SKL untuk obligor BLBI. Kwik juga kembali tidak setuju dengan kemudian Megawati Sukarnoputri selaku Presiden menutup rapat dengan tidak mengambil keputusan.

Pertemuan ketiga dilakukan di Istana Negara yang dihadiri Menko Ekui Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, Jaksa Agung MA Rahman dan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie serta Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra. Dalam sidang terakhir Megawati memerintahkan Yusrif untuk membuat draft Inpres tersebut.

BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. Berdasarkan perhitungan BPPN, BDNI per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun. Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Syamsul Nursalim.

BPPN pada 27 April 2000 memutuskan utang petambak yang dapat ditagih adalah Rp1,34 triliun dan utang yang tidak dapat ditagih yaitu Rp3,55 triiun diwajibkan untuk dibayar kepada pemilik atau pemegang saham PT DCD dan PT WM. Namun Sjamsul Nursalim juga tidak bersedia memenuhi kewajiban itu karena menilai kredit itu Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018