Sumini (48) belum juga berhenti berbicara meski sudah 20 menit lebih berdiri sambil menjelaskan cara membuat pelet untuk ikan lele di hadapan pejabat, anggota kelompok perempuan, warga dan wartawan di Dusun Selinsing, Kelurahan Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai, Riau, pada pekan pertama Juli.

Seperti sedang praktik memasak, anggota Kelompok Perempuan Bunga Melati dari Desa Teluk Makmur itu memeragakan tahap demi tahap mengolah daun singkong berbatang merah, daun pakis, daun ubi jalar ungu, kedelai, azolla (sejenis paku air), daun lamtoro kering, garam dan probiotik menjadi pakan ikan berprotein tinggi menggunakan mesin giling.

Sumini dan 19 anggota Kelompok Perempuan Bunga Melati lainnya belum lama menguasai cara membuat pelet ikan dari bahan-bahan yang relatif mudah mereka dapat di sekitar lingkungan tinggalnya. Namun mereka sudah fasih menjelaskan teknik pelet ikan untuk budidaya lele di kolam-kolam bioflok. Dan Sumini begitu bersemangat.

Bersama anggota kelompoknya, Sumini mendapat pendampingan dari Riau Women Working Group (RWWG) untuk membudidayakan ikan lele menggunakan teknologi bioflok, termasuk membuat pakannya, pada Februari 2017.

Awal Agustus nanti mereka akan menikmati panen perdana dari satu hingga dua kolam berisi hingga 1.000 ikan lele. Panen mereka akan mengisi kekurangan pasokan ikan air tawar di Dumai.

Menurut Kepala Produksi Dinas Perikanan Kota Dumai Surya wilayahnya membutuhkan 4,6 ton ikan air tawar per hari namun baru sekitar 2,6 ton yang bisa dipenuhi.

Kelompok-kelompok perempuan dari Medang Kampai bisa memasok lele hingga 2.000 kilogram (kg) per hari ke kota penghasil minyak tersebut.

Kalau pun Sumini dan rekannya tidak berhasil menjual ikan dalam keadaan segar, mereka bisa mengolahnya menjadi bakso ikan, abon, nugget, atau salai.

Cut Utari, salah seorang pendamping dari RWWG, menyebut empat kelompok perempuan yang mereka inisiasi di Medang Kampai juga telah dibekali dengan ketrampilan mengolah ikan, memampukan mereka menambah nilai ikan lele.


Harapan Baru

Tidak berlebihan jika Sumini menganggap upaya budidaya ikan yang dia lakukan bersama kelompoknya sebagai harapan baru di tengah melambatnya usaha perkebunan kelapa sawit mereka.

Dari lahan perkebunan kelapa sawit seluas satu hektare (ha) milik keluarganya, ada 300 pohon yang akan panen dua kali dalam satu bulan.

Jika seluruh pohon kelapa sawit tersebut berbuah maka keluarga Sumini akan mendapat dua ton tandan buah segar. Namun karena harga sawit akhir-akhir ini menurun, Sumini dan suaminya hanya mampu menjual di kisaran harga Rp1.000 per kg dan mengantongi hasil penjualan sekitar Rp2 juta setiap bulan.

Masalah lainnya, kata Sumini, sekarang sangat jarang pohon-pohon sawitnya berbuah semua dan cuaca yang sering berubah membuat panennya makin menyusut, sementara biaya perawatannya makin hari makin tinggi.

Kondisi itu membuat Sumini berjanji tidak mau menyerah kalaupun pada tiga bulan pertama usaha budidaya ikan lele dengan bioflok gagal.

"Kami tidak mau berhenti kalau usaha pertama ini gagal, kami akan terus coba. Ini semua tergantung dengan kekompakan dan ketelatenan ibu-ibu saja," ucapnya.

Bahkan, Sumini sudah punya rencana bersama suaminya untuk membuat kolam bioflok sendiri.

Dia tidak mau kalah dengan ibu-ibu dari kelompok perempuan lain yang sudah lebih dahulu sukses dan mampu menopang perekonomian keluarga.

Situasi yang hampir sama dihadapi oleh Ramlah (37), anggota Kelompok Perempuan Bunga Desa yang kebetulan menjadi tuan rumah kegiatan dialog dan sosialisasi program mitigasi berbasis lahan yang diinisiasi Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)-RWWG dengan pemerintah daerah, mitra, dan penerima manfaat.

Kebun kelapa sawit seluas 4,5 hektare milik keluarga Ramlah yang terhampar di lahan gambut dan sebagian terbakar pada 2015, kini makin rawan terbakar. Pendapatan per bulan keluarganya dari kelapa sawit pun menurun, sementara biaya perawatan kebun kelapa sawit tidak demikian.

Ibu rumah tangga dengan empat anak ini berharap lima kolam bioflok yang sejak awal Januari dibangun di samping rumah kayunya bisa menghasilkan dan membantu perekonomian keluarganya.

Kolam yang berada di samping rumah membuatnya lebih mudah mengurusnya pada pagi dan sore hari dengan harapan bisa memanen hasil bagus tiga bulan kemudian.

Ketua Masyarakat Adat Medang Kampi Abdul Muluk mengatakan sudah saatnya kaum ibu diberi kesempatan menghasilkan sesuatu guna membantu meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Mayoritas masyarakat di Medang Kampai menjadi pekerja di perusahaan sawit. Kalau pun mereka memiliki lahan, kebanyakan tidak tergarap dengan optimal setelah adanya peraturan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB).

Sebagian dari mereka, menurut Abdul, bahkan masih tidak tahu harus mengerjakan apa.


Tak Lama

Direktur Eksekutif RWWG Sri Wahyuni menerangkan bahwa sebenarnya tidak perlu waktu terlalu lama untuk membangun kolam-kolam terpal berwarna biru untuk budidaya lele di samping rumah beberapa anggota kelompok perempuan di Kelurahan Pelintung, Kelurahan Guntung, Kelurahan Mundam dan Kelurahan Teluk Makmur di Kecamatan Medang Kampai.

Justru penguatan kapasitas bagi 80 perempuan dari empat kelompok yang mayoritas ibu rumah tangga dengan keseharian mengasuh anak, memasak, mengatur rumah, dan sesekali membantu memanen sawit yang memakan waktu lebih lama.

Sri Wahyuni menyebut pemilihan satu orang yang tepat sebagai motivator di antara 20 orang dalam satu kelompok perempuan yang bisa menggerakkan dan memberikan semangat satu sama lain di antara mereka sebagai hal yang penting.

Itu, menurut perempuan yang biasa disapa Ayu itu, merupakan modal awal untuk memastikan kelompok-kelompok perempuan tetap berdiri dan berkarya.

Setidaknya 10 bulan dihabiskan untuk meyakinkan dan terus meyakinkan mereka agar hadir mengikuti seluruh pembelajaran budidaya ikan lele dengan teknologi bioflok dan mengembangkan produk-produk pangan berbahan dasar ikan air tawar.

Kini perempuan-perempuan di Medang Kampai sudah tahu cara membuat pelet, mengeluarkan endapan kotoran ikan di dasar bioflok dua hari sekali, memberi makan ikan, hingga menetralkan tingkat keasaman air selama 10 hari sebelum digunakan untuk budidaya lele.

Ayu mengatakan lanskap Medang Kampai mayoritas hamparan lahan gambut, yang mudah terbakar. Dengan budidaya lele menggunakan teknologi bioflok, para perempuan bisa menyumbang pendapatan bagi keluarga tanpa harus pergi terlalu jauh dari rumah.

Ayu tidak bisa menjamin warga daerah itu tidak lagi berladang dan membuka lahan dengan cara membakar setelah pengenalan usaha budidaya baru.

Namun RWWG setidaknya memberikan pencerahan bahwa mereka tidak boleh lagi hanya bergantung pada kelapa sawit, dan memberikan alternatif upaya dengan mengajarkan cara membudidayakan ikan.

Harapannya, selanjutnya 129.813 titik api yang menyala di gambut-gambut Indonesia terus menurun.

Dan perempuan-perempuan seperti Ramlah dan Sumini beserta anak dan keluarga mereka tidak harus menghirup udara dengan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) 2.000 psi yang membahayakan kesehatan selama berbulan-bulan.

Baca juga: Perempuan Dumai ikut kendalikan emisi dengan agroforestri
 

Pewarta: Virna Puspa S
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018