Oleh Bob Widyahartono, MA Jakarta (ANTARA News) - Ketika istilah trickling-up economy disebut-sebut oleh Burhanuddin Abdullah selaku Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) pada acara Konperensi ISEI di Balikpapan, Kalimantan Timur, beberapa waktu lalu, langsung muncul pertanyaan apakah ada itu trickling-up (menetes ke atas)? Dicarilah di berbagai kamus Inggris-Indonesia, termasuk kamus ekonomi, dan bertanyalah beberapa ekonom mengenai apa yang dimaksud bottom-up (dari bawah ke atas) dengan panduan Pemerintah dan dengan panduan Pemerintah yang good governance, yang kredibel. Di Jepang kebijakan middle-up, middle-down makin popular di mana middle (swasta) menjadi penggerak, dan bukan segala sesuatu oleh oknum birokrasi Pemerintahan Jepang. Dua tahun lalu, Peta Jalan (Road Map) pembangunan ekonomi secara resmi ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tepatnya di awal Desember 2005, dalam acara pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang dirombak (reshuffle). Bahkan, hasil sidang Kabinet Pertama, baru terbatas pada langkah awal mempertegas visi dengan tujuan yang hendak dicapai untuk direalisasi, langsung di bawah koordinasi Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Boediono, . Road Map Kebijakan Ekonomi tersebut awalnya sangat diharapkan masyarakat, terutama para pelaku ekonomi, yang sudah lama menantikan decisive leadership atau dengan kata lain adanya kepemimpinan yang mampu memanfaatkan momentum penting, tanpa meragu dan berspekulasi dengan dasar perhitungan matang, serta pro-Usaha Kecil dan Menengah maupun Koperasi (UKMK). Lantas, sebagian kalangan mempertanyakan, "mengapa masih saja titik beratnya pada memperbaiki ekonomi makro, memasuki tahun 2007? Apa karena sejauh ini proses menjabarkan visi penyehatan ekonomi nasional belum menukik ke realita sector riil keseharian dari pusat sampai daerah?." Pelaku ekonomi pun menginginkan kejelasan pengarahan pembangunan sector riil yang bisa menempatkan peransertanya. Sampai-sampai muncul suara dari kalangan pengamat yang mengungkapkan "kebuntuan sektor riil", meskipun tidak secara tegas menukik kepada sebab musababnya di sub sector riil sampai kepada daerah dan dampak pada sasaran masing-masing pelaku ekonomi. Sampai kini terungkap dalam berbagai pemberitaan media bahwa Tim Ekonomi KIB masih berkutak-katik merinci terus perbaikan atau penyehatan ekonomi makro. Memasuki paruh kedua tahun 2007 visi penyehatan sektor/lingkungan meso, meta dan mikro yang harus dipertegas. Dalam hal ini, para menteri tersebut makin dituntut ketegasannya, sehingga tanggung jawab mereka tidak dilempar ke atas. Dari strategi memperbaiki ekonomi makro seharusnya diselaraskan dengan kondisi sektoral tersebut, yang juga membutuhkan peningkatan produktivitas. Beberapa hal juga perlu ditelaah lebih jauh. Kebijakan industri (industrial policy), kalau pun dikatakan ada, jarang sekali diperbincangkan dan diperkenalkan kepada UKM. Bahkan, masih cukup banyak elit ekonom makro belum terlalu menjadikan fokus diimplementasi, apalagi dalam keterkaitannya dengan kebijakan investasi dan kebijakan persaingan, serta mutu infrastruktur fisik, selain intermediasi bank yang profesional untuk mendukung operasi bisnisnya. Strategi memetik pemenang mereka artikan sebagai top down memberi arah atau petunjuk yang tidak memberi kebebasan pada masyarakat bisnis untuk berbisnis. Di sector riil industri terungkap tiga fakta dari realita pasar, yaitu 1) kebijakan industri (industrial policy) yang dipersepsi oleh kalangan pebisnis, apalagi yang menengah dan kecil sebagai tidak jelas dan tidak transparan, 2) kebijakan fiskal yang tidak riil dan komprehensif, dan 3) kebijakan perbankan yang belum "memihak" dunia usaha, termasuk industri swasta, terutama skala menengah dan kecil, apalagi kalau menyangkut peranan intermediasi bank yang belum kondusif dalam perlakuan pemberian kredit. Ungkapan demikian adalah ungkapan riil dari komunitas pasar dan pelaku bisnis, meskipun tidak disertai angka-angka yang "njelimet". Belum lagi infrastruktur fisik dalam rangka otonomi daerah sesai Undang Undang (UU) Nomor 32/2004 yang masih belum memadai, kurang menunjang efisiensi dan ketepatan waktu dalam kelancaran aktivitas distribusi maupun bisnis internasional. Hal yang justru lebih mendasar diperlukan adalah kebijakan indusri (industrial policy) yang transparan, dan dapat bekerja (workable) dan bukan top-down. Pembangunan industri dan perdagangan Indonesia dalam tahun-tahun mendatang makin dihadapkan kepada persaingan yang tajam sebagai dampak terbukanya dunia melalui regionalisme. Semula dalam tahun 1970-1980an, pembangunan industri diarahkan pada pembangunan yang bersifat broad based yang tidak mengenal skala prioritas pembangunan industri. Produk unggulan dan produk andalan daerah tidak fokus pada strategi yang prediktif untuk bersama pelaku bisnis, terutama dalam berindustri dan memantapkan perolehan segmen pasar baik dalam negeri maupun luar negeri. Sampai sekarang ini perumusan kembali kebijakan industri yang lebih operasional masih perlu mendapat fokus dari elit kita. Banyak kelemahan tersebut di atas merupakan akibat industrialisasi berorientasi ekspor yang tidak cukup mendalam (shallow export orientation industrialization), sekalipun optimisme di kalangan pelaku masih ada demi bertahan hidup (survival). Jika kita kembali menyimak ke elemen-elemen yang mempengaruhi kebijakan ekonomi, maka dipengaruhi oleh empat lingkungan utama, yakni 1) Meta (masyarakat), 2) Meso (sektoral), 3) Mikro (swasta pelaku usaha) dan 4) Makro (moneter, fiskal, perdagangan dan penanaman modal/investasi). Meta, dapat diartikan melingkupi pengembangan industri dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya yang di satu sisi memotivasi jiwa kewirausahaan masyarakat dan bukan men-demotivasi, di lain pihak adanya jaminan keamanan dan stabilitas politik, serta "aturan hukum" (rule of law) yang tegas dan bukan "aturan birokrat" (law of the bureaucrats) yang seringkali justru merupakan beban tambahan yang sangat menekan. Meso, dapat diartikan kepada tingkat kebijakan meso sektoral mencakup sarana oleh swasta maupun pemerintah pada tingkat setempat dalam prasarana infrastruktur, dan peningkatan mutu produk unggulan, layaknya bidang pendidikan pemanfaatan teknologi yang tepat guna untuk berbagai sektor sektor unggulan. Mikro, dapat diartikan kepada tingkat mikro yang menjadi kompetensi pelaku bisnis swasta mencakup strategi untuk peningkatan produktivitas manajerial, inovasi, pengembangan mutu Sumber Daya Manusia (SDM), dan jejaringan kerja (networking), serta kompetensi dalam memanfaatkan teknologi informasi guna mendukung operasi strategi masing-masing. Makro, dapat diartikan melingkupi kebijakan makro mencakup kebijakan moneter nilai tukar uang dan tingkat suku bunga, kebijakan fiskal layaknya insentif perpajakan, kebijakan perdagangan (trade policy) yang meliputi infrastruktur distribusi, ekspor dan impor maupun kebijakan investasi. Pertanyaan mendasarnya adalah "Apa kondusif untuk menggerakkan pelaku bisnis dalam berwirausaha secara kredibel?" Mengembangkan kebijakan industri, perdagangan dan investasi, serta persaingan yang lebih matang dan workable merupakan suatu keterkaitan dalam rangka meningkatkan daya saing dalam arena domestik dan regional/internasional. Membuka aksesibilitas informasi yang sama secara lebih adil (fair), peluang berusaha/berbisnis bagi segenap pelaku dan seluruh daerah, temasuk peranan intermediasi perbankan yang kredibel. Melalui tekad SDM dalam arti budaya produktivitas, agar dapat senantiasa memperoleh budaya unggul (culture of excellence). Hal inilah yang perlu dilakoni, dan bukan dengan segala macam kebijakan "top-down", tetapi memberi keterbukaan yang mencerahkan jiwa kewirausahaan berbisnis pelaku ekonomi, terutama di daerah.- *) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi, Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Unversitas Tarumanagara (FE Untar) di Jakarta.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007