Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih menulis sepucuk surat menceritakan terkait kasus suap yang menjeratnya.

Dalam surat tertanggal 15 Juli 2018 di Jakarta yang tersebar di kalangan awak media, Eni mengaku memang membantu pembangunan PLTU Riau-1 berkapasitas 2X300 MW itu agar berjalan lancar, meskipun bukan dari APBN.

Selain Eni, KPK telah menetapkan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK) sebagai tersangka tindak pidana korupsi suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.

"Saya membantu Riau-1, karena saya tahu semangatnya Pak Kotjo dan Pak Sofyan Basyir adalah semangatnya buat negara, semuanya di-`press`, ditekan agar hasil jualnya ke PLN menjadi murah dengan begitu listrik buat rakyat pun menjadi murah," kata Eni dalam suratnya tersebut.

Namun, ia mengaku memang terdapat pemberian dari Kotjo.

"Kesalahan saya, karena saya menganggap Pak Kotjo teman, satu tim, bukan orang lain sehingga kalau ada kebutuhan yang mendesak saya menghubungi beliau untuk membantu sponsor kegiatan organisasi, kegiatan umat maupun kebutuhan pribadi, dan Pak Kotjo pun membantu karena mungkin beliau beranggapan yang sama kepada saya," ucap Eni.

"Kesalahan saya juga adalah merasa kalaupun ada rezeki yang saya dapat dari proyek ini karena saya merasa proyek ini proyek investasi di mana swasta menjadi agen yang legal, proses dari proyek ini benar, kepentingan negara nomor 1 (karena menguasai 51 persen), rakyat akan mendapatkan listrik murah (karena harga jual ke PLN murah) sehingga kalaupun ada rezeki yang saya dapat dari proses ini menjadi halal dan selalu saya niatkan untuk orang-orang yang berhak menerimanya," tutur Eni.

Eni pun menyatakan siap mempertanggungjawabkan kesalahannya itu di depan hukum dan di hadapan Allah SWT.

"Saya mengakui ini salah karena saya sebagai anggota DPR (karena jabatan saya melekat) dan kesalahan ini akan saya pertanggungjawabkan di depan hukum dan di hadapan Allah SWT," kata dia.

Sebelumnya, dalam kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (13/7), KPK mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu, yaitu uang sejumlah Rp500 juta dalam pecahan Rp100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.

Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari komitmen "fee" 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Diduga, penerimaan kali ini merupakan penerimaan keempat dari Johannes kepada Eni dengan nilai total setidak-tidaknya Rp4,8 miliar, yaitu Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 Rp2 miliar, dan 8 Juni 2018 Rp300 juta.

"Ini perlu kami dalami lebih jauh sebenarnya bagaimana proses awal sampai dengan kemarin ketika tangkap tangan dilakukan, sejauh mana suap yang kami duga diterima EMS sekitar Rp4,8 miliar tersebut memang secara signifikan bisa memuluskan proses yang terjadi," ungkap Febri.

Diduga uang diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Eni Maulani Saragih melalui staf dan keluarga.

Adapun peran Eni adalah untuk memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.

Sebagai pihak yang diduga pemberi Johannes Budisutrisno Kotjo disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan sebagai pihak yang diduga penerima Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018