Kalau sudah ada cukup modal, lebih baik pulang ke kampung. Buka warung, yang penting tidak jauh dari keluarga..
Lestari (45) memandang langit-langit bercat putih di hadapannya. Matanya menerawang jauh melewati lintasan Mass Rapid Transit Paya Lebar, tempatnya bernaung, sedangkan beberapa bulir air mata menetes membasahi pipinya.

"Banyak yang mengira enak kerja di luar negeri, mereka tidak tahu susahnya kami di sini," kata perempuan yang akrab disapa Tari itu.

Tari sudah bekerja di luar negeri selama lebih kurang 10 tahun. Sebelum bekerja di Singapura, ia bekerja di Malaysia. Selama itu pula, ia sudah tiga kali ganti majikan.

Bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di rantau orang, menurut Tari, merupakan pekerjaan yang berat. Bayangkan saja, ia mulai bekerja sejak matanya terbuka, yakni pukul 06.00 pagi dan baru bisa rebahan di kasur pada pukul 22.00.

"Majikan cerewet hal biasa, yang penting majikan tidak mukul. Anggap saja ini cobaan," ujar perempuan asal Metro, Lampung itu sembari tersenyum kecut.

Ia mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga mulai dari memasak, mencuci baju, menyapu, mengepel, menjaga anak, merawat hewan peliharaan majikan, hingga mencuci mobil. Majikannya sekarang punya anak dua, umur empat dan 13 tahun.

"Kalau di rumah majikan tidak bisa istirahat walaupun hari libur, tetap harus jaga anak. Bahkan kalau dulu, majikan punya mobil lima, itu setiap hari harus dicuci semua. Belum lagi ngurusin anjing majikan, mandiin, dan ngasih makan," terang dia.

Sebagai pekerja domestik, ia mendapatkan upah 800 dolar Singapura atau sekitar Rp8.000.000.

Menurut dia, itu merupakan angka tertinggi bagi pekerja domestik di "Negeri Singa" itu. Buat yang baru bekerja, biasanya mendapatkan upah sekitar 500 dolar Singapura atau Rp5.000.000.

Bekerja di negeri orang, menurut Tari, bukanlah perkara mudah. Ia harus meninggalkan dua anak dan suaminya di kampung halaman.

Lima tahun yang lalu, suaminya menceraikannya dan menikah dengan perempuan lain.

"Mantan suami sekarang sudah punya anak dengan perempuan lain," kata dia lirih.

Ia juga tak bisa menemani dua anak lelakinya tumbuh dewasa. Sekarang, satu anak lelakinya sudah menikah dan satunya lagi bekerja di Malaysia.

Jika bisa memutar waktu, Tari mengaku lebih baik tidak bekerja di luar negeri dibandingkan dengan melihat keluarga yang sudah dibangun dengan susah payah hancur.

Namun apa daya, tuntutan ekonomi membuatnya mengambil pilihan yang di kemudian hari disesalinya itu.

"Kalau sudah ada cukup modal, lebih baik pulang ke kampung. Buka warung, yang penting tidak jauh dari keluarga," kata Tari.

Pada Minggu siang itu, ia dan teman-temannya sesama pekerja domestik melepas penat setelah bekerja selama sepekan di rumah majikan.

Mereka mendapatkan jatah libur setiap hari Minggu. Biasanya pekerja asal Tanah Air berkumpul di sejumlah taman yang ada di samping Stasiun MRT Paya Lebar.

Mereka membawa bekal makanan dari rumah, menggelar tikar plastik dan ngumpul bersama dengan teman-temannya sesama pekerja persis di bawah lintasan MRT. Berbagai makanan khas Indonesia juga dijajakan di kawasan itu.

Cukup mudah mengenali pekerja asal Indonesia. Mereka berpakaian necis, masing-masing memegang telepon pintar dan duduk berkelompok di taman-taman yang berada tidak jauh dari kawasan Geylang itu.

Yanti (43), pekerja domestik asal Bekasi, mengaku hanya pada hari itu pula mereka bisa beristirahat dengan tenang.

Jika di rumah, meski hari libur, ia tetap harus mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Oleh karenanya, ia lebih memilih kumpul bersama teman-temannya seharian penuh ketika hari libur.

"Dikira jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) itu bagaimana, enak di negeri orang. Padahal kami begini (ngumpul dan ngobrol-ngobrol, red.) bersama teman-teman cuma hiburan. Wah kalau di rumah banyak kerjaan, justru kalau tidak `off` (libur) malah jadi stres karena banyak kerjaan," terang Yanti yang juga harus menitipkan anak-anaknya di Indonesia kepada ibunya itu.

Sama seperti Tari, Yanti yang sudah bekerja kurang lebih 15 tahun di Singapura itu, mengaku tak ingin lebih lama lagi bekerja.

Saat ini, ia mengumpulkan upah yang diterimanya dan ingin membuka usaha sendiri di Bekasi.

Ia mengaku sudah lelah bekerja bertahun-tahun di rantau orang. Baginya, meski bergaji tinggi di negeri orang, akan tetapi lebih baik di negeri sendiri bersama keluarganya meski penghasilannya tak lagi sama.

Baca juga: Ribuan TKI Singapura berkumpul rayakan akhir tahun
Baca juga: Kemitraan RI-Singapura diperkirakan serap 4.000 tenaga kerja


Lebih

Salah satu pendiri Pekerja Indonesia Singapura (PIS), Rini Puji Lestari, mengatakan jumlah PRT di Singapura diperkirakan lebih dari 100.000 jiwa.

Namun yang bergabung di dalam grup media sosial yang didirikannya itu hanya sekitar 28.000 pekerja.

"Sekitar 80 persen anggota PIS merupakan pekerja domestik," kata Rini saat ditemui di kediamannya di kawasan Woodlands, Singapura itu.

Grup yang didirikan sejak 2009 itu, menjadi tempat bagi para pekerja di "Negeri Singa" tersebut untuk saling berbagi informasi, terutama bagi para pekerja yang baru datang dan belum mengetahui mengenai peraturan di negeri tersebut.

Banyak peraturan di negeri tersebut, yang jauh berbeda dengan di Tanah Air. Misalnya makan dan minum di kendaraan umum tidak dibenarkan, jika ketahuan dan seseorang melaporkan disertai bukti foto, maka yang bersangkutan akan dikenai denda 500 dolar Singapura. Mengunyah permen karet akan dikenai denda 100 dolar Singapura atau hukuman penjara hingga dua tahun.

"Awalnya grup ini hanya wadah bagi karya sastra karya pekerja, nama awalnya Buruh Migran Singapura. Didirikan oleh para TKW. Kemudian baru pada 2011, berubah menjadi PIS," jelas Rini yang sudah mendapatkan status sebagai Permanent Residence (PR) di negeri itu.

Saat hari libur, ia kerap mengamati banyak pekerja yang menghabiskan waktu dengan hanya mengobrol santai.



Rini dan teman-temannya berinisiatif untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk pekerja, seperti pelatihan rebana, kelas menari, kelas kerajinan tangan, kelas menari, hingga kelas olahraga.

Selain itu, juga ada kegiatan pengajian yang dilakukan setiap pekannya.

Dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, kehidupan buruh migran di Singapura saat ini lebih baik.

Dengan adanya keterbukaan informasi melalui media sosial membuat sesama buruh migran bisa membagi informasi jika terjadi sesuatu yang membahayakan jiwa mereka.

"Begitu juga kalau ada yang membutuhkan bantuan, kami langsung turun tangan. Beberapa lalu ada yang kena musibah, kami kemudian menggalang donasi," terang Rini.

Pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) pun turut membantu jika terjadi masalah dengan para pekerja migran tersebut.

Rini menjelaskan terdapat perbedaan pekerja di Singapura dan negara lain, yang mana di Singapura memungkinkan untuk merekrut pekerja secara langsung.

Hal tersebut berbeda dengan negara lain, yang mana harus melalui perusahaan penyalur.

"Sehingga tidak ada standar gaji di sini. Pihak Tenaga Kerja Singapura tidak mengatur hal itu, sementara pihak KBRI menetapkan minimum gaji sebesar 550 dolar Singapura. Tetapi lagi-lagi, para majikan tentunya lebih menaati pemerintah mereka," jelas perempuan yang pada hari itu mengenakan jilbab abu-abu tersebut.

Ke depan, dia berharap ada solusi dari kedua belah pihak untuk mengatasi persoalan tersebut.

Rini juga berpesan kepada para PRT asal Indonesia untuk berhemat selama di negeri orang, agar penghasilan mereka bisa digunakan sebagai modal usaha di Tanah Air.


 

Pewarta: Indriani
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018