Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah berencana menerapkan penggunaan campuran minyak sawit dalam solar sebesar 20 persen (Biodiesel 20/B20) kepada seluruh kendaraan bermesin diesel pada akhir tahun 2018.

Menyikapi hal itu, Wakil Ketua Bidang Industri dan Logistik Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman mengatakan, pelaku industri transportasi membutuhkan sosialisasi yang berkesinambungan karena biosolar yang digunakan saat ini masih B5 dan B10.

Selain itu, penggunaan B20 juga menimbulkan tiga kecemasan utama bagi pengusaha antara lain waktu servis yang lebih cepat, biaya operasional membengkak karena konsumsi biosolar yang diklaim lebih boros dan potensi kerusakan mesin.

"Mesin-mesin standar yang beroperasi sekarang itu masih B10," kata Kyatmaja Lookman saat dihubungi, Jumat.

"Biosolar itu water kontennya tinggi sehingga membutuhkan komponen tambahan berupa water separator di mobil. Akibatnya perawatan kami jadi membengkak, dari semula setiap 10ribu-20ribu kilometer menjadi sekitar setiap 5ribu-7ribu, harus servis," katanya.

Baca juga: Aprobi dukung percepatan mandatori biodiesel

Ia mengatakan berdasarkan data bahwa dari 6,2 juta truk yang beredar, sebanyak 4,3 juta truk sudah berusia tua sehingga membutuhkan perawatan ekstra.

Pria yang akrab disapa Kyat itu juga mengatakan berdasarkan sebuah pengujian, penggunaan B20 lebih boros 2,3 persen ketimbang mengonsumsi solar biasa.

"Mobil lebih boros 2,3 persen antara B20 dengan yang biasa, berdasarkan pengujian," katanya, kemudian menambahkan, "Asumsi saya, jika nantinya naik memakai B30 maka akan meningkat borosnya dan berdampak ekonomi yang lebih tinggi ke pengusaha."

Baca juga: Pemerintah serius perluas penggunaan Biodiesel 20

Selain itu, ia juga menilai bahwa sosialisasi penggunaan B20 yang tidak berjalan berkesinambungan membuat banyak pengguna truk hingga pengusaha tidak memahami risiko kerusakan mesin yang ditimbulkan apabila interval servis mobil tidak ditingkatkan.

"Karena kalau tidak rutin, akan terjadi pemampatan karena ada tumpukan yang menjadi jelly di filter mesin," katanya. "Ketika B20 tanpa sosialisasi, bagaimana dengan mesin kami?"

"Kandungan air dan asam dalam biosolar bisa merusak mesin pada komponen gasket dan karet-karet. Nanti ada kebocoran dan tiba-tiba mobil harus turun mesin. Itu kerugian terbesar bagi pemilik armada," katanya.

Baca juga: Ini alasan GAPKI dukung langkah pemerintah soal B20

Interval Servis

Jika pengusaha angkutan keberatan dengan penerapan B20, produsen kendaraan niaga Volvo Truck Indonesia mengaku siap mengikuti aturan pemerintah terkait Biodiesel.

Pimpinan PT Wahana Inti Selaras selaku importir Volvo Truck di Indonesia, Bambang Prijono, mengatakan armada Volvo mampu menyerap Biodisel 20 dengan syarat waktu servis berkala yang dipercepat.

"Sudah disesuaikan, tapi interval servisnya tidak sama," kata Bambang Prijono saat ditemui wartawan di Sentul, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan truk Volvo diservis setiap 20ribu kilometer saat digunakan di Eropa, maka dengan penggunaan Biosolar harus dipercepat menjadi setiap 10ribu kilometer.

"Interval servisnya lebih pendek jadi 10ribu kilometer atau 250jam kerja," katanya.

Ia juga mengatakan perusahaan transportasi harus menyesuaikan suku cadang pada komponen yang berkaitan dengan bahan bakar karena ada perbedaan jenis parts untuk solar biasa dengan Biosolar.

"Volvo siap. Ada penyesuaian sehingga bisa menggunakan Biodiesel. Fuel part ada, tapi kalau yang Biosolar materialnya berbeda."

Baca juga: Presiden percepat mandatori biodiesel perbaiki defisit perdagangan
Pewarta:
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018