Gerhana Bulan Total pada 28 Juli 2018 merupakan yang terakhir yang dapat diamati pada tahun ini. Ilmuwan antariksa menyebut gerhana bulan total kali ini istimewa karena menjadi yang terlama di abad 21.
Kuning telur omega 3 terlintas di kepala saat sedang mengamati puncak Gerhana Bulan Total (GBT) sekitar pukul 03.30 WIB, Sabtu (28/7), di Bekasi, Jawa Barat. Saat itu, fase totalitas gerhana bulan masih terjadi.

Dengan mata telanjang, Bulan purnama yang biasanya bersinar putih cemerlang tampak meredup, berganti warna menjadi oranye kemerahan. Dan redupnya cahaya sang rembulan tersebut justru tampak luar biasa setelah tertangkap kamera.

Saat Bulan tampak meredup di atas sana Planet Mars yang berada di sisi kiri satelit alami Bumi justru terlihat merah cemerlang. Kepala Bidang Diseminasi LAPAN Emanuel Sungging mengatakan fenomena oposisi Planet Mars berada pada jarak terdekat ke Bumi membuat planet ini tampak seperti bintang kemerahan paling terang di antara bintang-bintang lainnya.

Berdasarkan informasi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) gerhana bulan total (U1) pada Sabtu (28/7), mulai terjadi pada pukul 02.30 WIB. Gerhana bulan total selesai (U3) pada pukul 04.13 WIB.

Sedikit demi sedikit bayangan gelap Bumi meninggalkan permukaan Bulan, dan sinar cemerlang purnama pun perlahan mulai terlihat. Dengan mata telanjang, Bulan secara perlahan tampak seperti sabit saat sebagian bayangan Bumi menutupinya.

Sampai akhirnya Bulan benar-benar terlepas dari bayang-bayang Bumi dan kembali purnama pada pukul 06.28 WIB. Saat itu gerhana bulan dengan durasi terlama di abad 21 yang memakan waktu satu jam 43 menit (103 menit) ini pun usai.



Gerhana Bulan mikro

Gerhana Bulan Total pada 28 Juli 2018 merupakan yang terakhir yang dapat diamati pada tahun ini. Ilmuwan antariksa menyebut gerhana bulan total kali ini istimewa karena menjadi yang terlama di abad 21.

GBT dengan fase totalitas lebih lama lagi, yakni 106 menit akan terjadi pada 9 Juni 2123, itu pun tidak bisa teramati dari Indonesia. Warga Nusantara baru bisa mengamati bulan darah berdurasi 106 menit pada 19 Juni 2141.

Kenapa gerhana bulan total menjadi lebih lama?

Hal ini dapat disebabkan karena lintasan Bulan hampir mendekati garis tengah lingkaran bayangan gelap (umbra) Bumi pada saat itu. Sehingga Bulan akan berada dalam bayangan tersebut dalam waktu yang relatif lebih lama.

Selain itu, jarak Bumi dengan Bulan juga berpengaruh. Lintasan Bulan mengelilingi Bumi tidaklah lingkaran sempurna, tetapi berbentuk sedikit lonjong.

Sehingga ada kalanya Bulan berada dekat dengan Bumi dan ada kalanya berada lebih jauh dari Bumi.

Pada 27 Juli hingga 28 Juli 2018, Bulan berada di titik terjauhnya dari Bumi (apoge). Hal ini menyebabkan Bulan akan terlihat sedikit lebih kecil bila diamati dari Bumi dan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama untuk melewati bayangan gelap Bumi tersebut.

Untuk faktor yang kedua inilah gerhana bulan total yang terjadi ketika Bulan berada di titik terjauhnya dari Bumi disebut sebagai gerhana bulan mikro (micro moon).

Kondisi ini sangat berbeda dengan GBT pada 31 Januari 2018, di mana jarak Bulan ke Bumi berada pada posisi terdekat (perigee). Saat itu, gerhana bulan kedua di bulan Januari terjadi dan tampak 14 persen lebih besar serta 30 persen lebih terang dari biasanya.
 
Bulan Darah (blood moon). Foto Virna P Setyorini


"Bulan darah"

Salah satu fenomena yang menarik saat gerhana bulan total terjadi adalah berubahnya warna Bulan menjadi kemerahan. Perubahan warna ini diakibatkan oleh adanya cahaya Matahari yang dibiaskan oleh atmosfer Bumi.

Bulan menjadi berwarna kemerahan karena warna-warna lain dihamburkan oleh atmosfer Bumi, sedangkan cahaya berwarna merah lebih mudah untuk diteruskan.

Warna ini juga dipengaruhi oleh banyaknya debu dan partikel di atmosfer Bumi. Semakin banyak debu, semakin gelap warna Bulan.

Jika Bumi tidak memiliki atmosfer, maka Bulan akan menjadi gelap total ketika gerhana bulan total terjadi.

Fenomena alam yang sebenarnya biasa dari kata mata para ilmuwan ini kemudian menggemparkan warga dunia setelah, menurut Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin, media massa internasional menyebutnya sebagai bulan darah atau blood moon.

Media massa internasional sebelumnya juga membuat heboh dengan menamai GBT kedua yang terjadi pada Januari 2018 dan berada pada posisi terdekat dengan Bumi sebagai super blue blood moon.


Dampak gerhana bulan

Berulang kali peristiwa alam seperti ini terjadi berulang kali pula HOAX berseliweran di media sosial.

Informasi menyesatkan dan disebar secara masal melalui aplikasi pesan lintas platform seperti Whatsapp menyebutkan pada Sabtu (28/7), antara pukul 00.30 WIB hingga pukul 03.30 WIB semua alat komunikasi seperti telepon genggam dan laptop harus dijauhkan dari anggota tubuh karena pada saat itu Bumi menghadapi radiasi yang paling tinggi.

Informasi tidak benar tersebut juga menyebutkan bahwa pancaran cahaya kosmik akan melintas dekat dengan bumi. Karena itu, semua perangkat elektronik tadi harus dijauhkan dari tubuh karena dapat menyebabkan efek radiasi yang berbahaya.

Kepala LAPAN menyebut informasi itu sebagai HOAX lama yang diulang-ulang.

Sebelumnya ia menjelaskan dampak yang terjadi saat GBT berlangsung adalah efek pasang-surut Bulan diperkuat oleh Matahari. Ini yang seharusnya perlu diwaspadai oleh masyarakat yang berada di daerah pesisir.

Jika itu terjadi bersamaan dengan air pasang maka dapat membuat limpasan air laut lebih jauh lagi dari bibir pantai ke daratan. Ini biasanya akan terjadi selama satu hingga dua hari sebelum dan sesudah gerhana bulan terjadi, lanjutnya.



Mengamati bersama

Peristiwa alam GBT Juli 2018 yang dimulai dengan Bulan memasuki penumbra Bumi (gerhana bulan penumbra) mulai (P1) pada pukul 00.14 WIB dan berlanjut dengan Bulan memasuki umbra Bumi (gerhana bulan sebagian) mulai (U1) pukul 01.24 WIB,

Gerhana bulan total mulai (U2) pukul 02.30 WIB, puncak gerhana bulan total pukul 03.21 WIB, Gerhana bulan total selesai (U3) pukul 04.13 WIB, Bulan meninggalkan umbra Bumi (gerhana bulan sebagian) selesai (U4) pukul 05.19 WIB, hingga Bulan meninggalkan penumbra Bumi (gerhana bulan penumbra) selesai (P4) pukul 06.28 WIB ramai disaksikan masyarakat Indonesia dan tentu saja dunia.

Jika LAPAN memilih lokasi pengamatan umum di Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Pasuruan, Jawa Timur, dan Balai Pengamatan Antariksa dan Atmosfer Sumedang, Jawa Barat. Maka Pusat Peraga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PP-Iptek) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristedikti) menggelar Pengamatan dan Peneropongan GBT di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Kegiatan peneropongan di PP-IPTEK menggunakan tiga teropong dimana salah satunya dihubungkan dan ditampilkan ke televisi sehingga dapat disaksikan oleh seluruh pengunjung yang hadir pada saat itu.

Selain menyaksikan peneropongan, ada juga Science Show, pemutaran film tentang gerhana, dan berkeliling galeri PP-IPTEK mencoba alat peraga sains interaktif yang lokasinya berdekatan dengan lokasi peneropongan.

Sementara itu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menggelar aktivitas yang sama di atas Gedung A BMKG di Kemayoran, Jakarta. Dan masyarakat dan pecinta astronomi pun banyak yang melakukan peneropongan bersama salah satunya di Monumen Nasional (Monas).

Kepala LAPAN menyebut gerhana bulan merupakan peristiwa astronomi biasa, dan baru akan menjadi luar biasa jika ada yang menyertai, seperti hujan meteor yang terjadi pada GBT kali ini. Namun bonus hujan meteor yang terlihat redup tersebut hanya dapat teramati oleh mereka yang berada di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan dan minus polusi cahaya.

Bagi mereka yang terlewat mengamati Bulan berwarna oranye kemerahan tidak perlu khawatir, karena peristiwa tertutupnya Bulan oleh bayang-bayang Bumi secara total akan kembali terjadi di Indonesia pada 26 Mei 2021.

Baca juga: Bulan memesona para pengamat bintang saat gerhana terpanjang

Baca juga: Gerhana bulan total terpantau dari Padang Panjang

Baca juga: Masjid-masjid di perkampungan Surabaya gelar shalat gerhana

Pewarta: Virna Puspa S
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018