Semuanya dimiliki oleh Pak Syafrudiin, saya sebagai direktur di sana."
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung disebut memiliki 10 perusahaan pasca tidak lagi menjabat sebagai ketua BPPN pada 2004.

"Semuanya dimiliki oleh Pak Syafrudiin, saya sebagai direktur di sana," kata saksi Alex Haryono di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Alex bersaksi untuk teman kuliahnya di ITB, Ketua BPPN 2002-2004 Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi terdakwa bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Djakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) serta pemilik Bank Dagang Negarai Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang merugikan keuangan negara Rp4,58 triliun.

Kesepuluh perusahaan yang diakui dimiliki oleh Syafruddin dan menempakan Alex sebagai direktur yaitu (1) PT Kurnia Cipta Pratama di bidang kelapa sawit, (2) PT Karima Megah Sentosa di bidang kelapa sawit (3) PT Teguh Karsa Wahana, (4) PT Fortius Development Properti yang akan membangun perumahan di Tangerang Selatan namun masih mengurus izin, (5) PT Fortius Invesment Asia di bidang investasi, (6) PT Putra Ciptra Pratama.

Selanjutnya (7) PT Fortius Management Grup yang rencananya membangun mikrohidro di kabupaten Lampung namun masih mengurus izin, (8) PT Fortius Green Energy yang rencananya membangun pembangkit listrik di kabupaten Deli Sumatera Utara tapi masih mengurus izin, (9) PT Megah Asia Raya yang akan mengolah kelapa sawit di kabupaten Musi Banyuasin dan (10) PT Megah Jaya Mandiri yang juga masih mengurus perizinan.

"PT Kurnia Cipta Pratama adalah perusahaan yang kita beli sahamnya, memang `core` kita itu pabrik kelapa sawit, properti dan hotel, lalu kita juga mencoba mengembangkan kegiatan-kegiatan lain tapi beberapa kegiatan di luar `core` itu banyak terhenti karena berbagai regulasi seperti pembangkit mikrohidro," ungkap Alex

"Bagaimana cara saudara mengelola semua perusahaan itu?" tanya jaksa penuntut umum KPK Haerudin.

"Itu semua yang saya pegang belum operasional, dari 10 itu saya masuk hanya yang di kebun sawit, lainnya masih dalam tahap perizinan," jawab Alex yang mengaku menjadi direktur di 10 perusahaan tersebut.

"Pertanggung jawaban saudara ke siapa?" tanya jaksa Haerudin.

"Ke pemegang saham, ke Pak Syafruddin," jawab Alex.

Menurut Alex, perusahaan-perusahaan itu mempekerjakan sekitar 50 orang pegawai.

Terhadap kesaksian Alex tersebut, Syafruddin mengaku bahwa ia memang membuat kelompok usaha dengan Alex.

"Setelah berhenti menjadi PNS 2004, kami pada 2006 membuat grup perusahaan Fortius dan Achea, kami dengan Pak Alex sahabat kami dari ITB, saya kira bukan hanya 8 perusahaan tapi 14, yang pertama dikembangkan kebun sawit 2007-2013 kami jual karena tidak cocok di kebun sawit jadi ke properti. Perusahaan memang banyak tapi ada 3 perusahaan di mikrohidro sampai sekarang sudah 5 tahun belum jalan, jadi banyak sekali ada yang belum beroperasi," ungkap Syafruddin.

Dalam dakwaan disebutkan Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang "sustainable" dan "unstainable" adalah Rp3,9 triliun dengan kurs Rp8500/dolar AS pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004 yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp2,8 triliun.

Bahkan pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, KKSK menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM sehingga tinggal utang petambak senilai Rp1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp100 juta/petambak dikalikan11 ribu petambak dari tadinya utang Rp135 juta/petambak.

Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp220 miliar karena Rp880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp80 juta/petambak sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun menjadi tinggal Rp220 miliar atau negara dirugikan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018