Kemenperin juga sudah mengajukan skema penurunan bea masuk untuk kendaraan listrik dalam bentuk Completely Knock Down (CKD) sekitar 0-5 persen, yang saat ini dikenakan tarif hingga 5-10 persen.
Sementara untuk jenis incompletely knocked down (IKD) dihapuskan menjadi 0 persen, yang semula sebesar 7,5 persen.
“Dari penurunan itu, para produsen bisa melakukan pre-marketing untuk kendaraan listrik, sehingga mendapatkan volume produksi, serta mendorong penjualan dan menambah investasi,” ujar Airlangga.
Menurut Menperin, strategi pengembangan kendaraan listrik di dalam negeri telah dipersiapkan melalui peta jalan program kendaraan rendah emisi karbon atau low carbon emission vehicle (LCEV).
“Jadi, program ini menggunakan pendekatan emisi CO2 yang dihasilkan kendaraan,” jelasnya.
Adapun yang termasuk dalam jenis kendaraan LCEV, meliputi kategori yang disebut low carbon for internal combustion engine (ICE) technology, yakni kendaraan bermotor hemat bahan bakar dan harga terjangkau (KBH2) atau low cost green car (LCGC).
Kategori selanjutnya, low carbon for hybrid electric technology, antara lain kendaraan jenis hybrid electric vehicle (HEV), plug-in hybrid vehicle (PHEV) dan dual HEV. Sedangkan, untuk kategori low/zero carbon technology seperti kendaraan battery electric vehicle (BEV) dan fuel cell electric vehicle (FCEV).
Kemenperin menargetkan, pada tahun 2020, sebesar 10 persen dari 1,5 juta mobil yang diproduksi di dalam negeri adalah golongan LCEV.
Kemudian, pada 2025, populasi LCEV diperkirakan tembus 20 persen dari 2 juta mobil yang diproduksi di dalam negeri. Target terus meningkat, hingga mencapai 25 persen ketika produksi 3 juta mobil pada 2030, dan dibidik sampai 30 persen saat produksi 4 juta mobil di 2035.
“Dari jumlah produksi tersebut, sebagaian untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan sisanya untuk ekspor,” tuturnya.
Airlangga meyakini, industri otomotif di dalam negeri sudah siap memproduksi kendaraan listrik secara bertahap.
“Dari segi electric motor itu bukan merupakan teknologi baru bagi kita. Sedangkan, untuk baterai, kita punya bahan baku nikel murni yang bisa diproduksi di Morowali, bahkan ada produsen yang sedang ekspansi di Halmahera, dan untuk cobalt bisa diekstraksi dari timah di Bangka,” paparnya.
Di samping itu, dalam upaya mempercepat pengembangan mobil listrik di Indonesia, Kemenperin telah menggandeng pemangku kepentingan dari kementerian dan lembaga, perguruan tinggi, serta pelaku industri otomotif.
“Kerja sama ini untuk melakukan studi tentang mobil listrik yang akan di-launch pada awal Agustus ini. Kami berharap, ada feedback dari semua pihak,” terangnya.
Bahkan, Kemenperin juga tengah mendorong riset mengenai energi terbarukan yang dapat mendukung program LCEV.
“Jepang dan Jerman sudah melakukan penelitian dari palm oil mill effluent dan ganggang untuk diekstraksi menghasilkan minyak, sehingga ampas sawit juga dapat dimanfaatkan. Pemerintah Jepang membuat investasi di Indonesia sebesar USD60 juta,” paparnya.
Menurut Menperin. produk yang dihasilkan tersebut sudah memenuhi standar euro4 atau B100.
“Saat ini, kita sedang mengarah ke B20 atau basisnya euro2. Ini bisa menghemat devisa dan industri dapat berkelanjutan,” tambahnya.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018