Kalau sampai berhenti berproduksi, suplai batubara sebagai energi primer PLN akan berkurang. Ini kondisi menyulitkan untuk klien kami termasuk PLN
Jakarta, (ANTARA News) - PT Kideco Jaya Agung menggugat Badan Koordinasi Penanaman Modal terkait dengan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan batubara.

Gugatan Pradilan Tata Usaha Negara (PTUN) itu dilayangkan terhadap BKPM dengan nomor perkara 156/G/2018/PTUN-JKT pada 28 Juni 2018 dan mulai disidangkan secara terbuka pada Senin, 6 Agustus 2018.

Kideco merupakan perusahaan tambang batubara pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah beroperasi selama 25 tahun sejak 1982 dan mengelola empat wilayah konsesi mencapai 47.500 hektare di Kalimantan Timur.

Gugatan dilayangkan oleh perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki Indika Energy itu atas terbitnya Surat Keputusan Kepala BKPM Nomor 5/1/IPPKH/PMA/2018 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk Kegiatan Operasi Produksi Batubara dan Sarana Penunjangnya atas nama PT Kideco Jaya Agung di atas lahan seluas 11.975,66 hektare pada Kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur yang diterbitkan 2 April 2018.

Direktur Kideco Jaya Agung Dayan Hadipranowo menjelaskan gugatan dilayangkan lantaran berdasarkan Perjanjian Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPPKH) yang disepakati, maka masa konsesi tersebut berlaku 30 tahun, yakni sejak 1 September 1992 sampai dengan 1 September 2022.

"Kami sudah berproduksi 25 tahun lebih, tiba-tiba 2 April kemarin tanpa permohonan apapun BKPM atas nama KLHK mengeluarkan IPPKH yang artinya menggantikan perjanjian yang kita telah gunakan selama ini," katanya.

Dayan menyebut penerbitan IPPKH bertentangan dengan aturan bahwa perjanjian yang telah disepakati dan masih berlaku akan tetap diakui sampai jangka waktu PPPKH berakhir, yakni pada 2022. Penerbitan izin juga seharusnya hanya bisa dilakukan atas permohonan perusahaan atau ada pihak yang meminta.

Menurut dia, setelah berproduksi cukup lama, keputusan diterbitkannya IPPKH membuat hilangnya kepastian hukum dalam berinvestasi.

"Kalau sampai berhenti berproduksi, suplai batubara sebagai energi primer PLN akan berkurang. Ini kondisi menyulitkan untuk klien kami termasuk PLN," katanya.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa royalti yang dibayarkan perusahaan batubara sebesar 13,5 persen dari total produksi perusahaan kepada negara juga terancam hilang. Demikian pula pajak penghasilan perusahaan (corporate income tax) sebesar 45 persen.

Meski demikian, Dayan menjelaskan pihaknya telah berupaya melakukan klarifikasi kepada BKPM dan KLHK atas dikeluarkannya IPPKH tersebut. Ia mengaku ketiga pihak telah sempat melakukan upaya audiensi meski hasilnya belum terlalu jelas.

"Upaya ke PTUN ini merupakan hukum yang tersedia bagi perusahaan untuk menaati peraturan yang ada. Kami terpaksa melakukan ini untuk memastikan kepastian hukum terjaga," katanya menjelaskan pihaknya memiliki waktu 90 hari sejak diterbitkannya IPPKH dalam pengajuan upaya hukum.

Perusahaan itu juga memohon agar pelaksanaan IPPKH ditunda sampai proses pemeriksaan perkara diputus PTUN dan memiliki kekuatan hukum tetap.

Kuasa Hukum Kideco Jaya Agung Arfidea Saraswati mengungkapkan Kideco bukanlah satu-satunya perusahaan pertambangan yang menggunakan PPPKH. Namun, seiring perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu, ada perubahan skema dari perjanjian menjadi izin.

"Yang mengejutkan karena tiba-tiba dikeluarkan IPPKH yang berbentuk izin tanpa permohonan kami. Keluarnya IPPKH juga diikuti kewajiban-kewajiban baru yang dinilai perusahaan menghambat operasional. Dalam izin ini kami seolah dianggap sebagai perusahaan baru seperti tata batas baru yang makan waktu lebih dari setahun. Dalam IPPKH itu, kami juga tidak diperbolehkan melakukan produksi sebelum tata batas selesai," katanya.

Arfidea berharap hak perusahaan masih tetap dihormati sesuai hukum yang berlaku bahwa perusahaan masih berhak melakukan operasional di kawasan hutan tersebut.
Baca juga: Kideco tawarkan uang tali asih tapi warga belum sepakat

 

Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2018