Jakarta (ANTARA News) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan penggunaan jalur yudisial dalam upaya pengungkapan dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu dapat membuat publik mengetahui konstruksi peristiwa yang terjadi saat itu.

"Alasan kami memilih jalur yudisial itu agar publik tahu konstruksi peristiwa yang sebenarnya terjadi seperti apa. Baik peristiwa 65, Talangsari dan sebagainya," ucap Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara di Jakarta, Senin.

Dengan jalur yudisial, menurut Beka, pelaku di lapangan dan siapa yang memerintahnya dapat ditemukan serta kompensasi kepada para korban jelas.

Jalur yudisial diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk dilakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM, dan hasil penyelidikannya diserahkan kepada penyidik (Jaksa Agung).

Untuk itu, Komnas HAM tidak dapat ikut dalam tim gabungan yang akan dibentuk oleh Menkopolhukam Wiranto karena bertentangan dengan fungsi yang diberikan undang-undang kepada Komnas HAM.

"Jadi kalau ada inisiatif membentuk tim gabungan dan terpadu, Komnas HAM tidak ada di sana karena tugas kami adalah penyelidikan berdasarkan UU," ucap Beka.

Kerangka lahirnya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 pada awal reformasi dikatakan Beka, adalah penyelesaian pelanggaran HAM harus melalui kerangka hukum dan tidak boleh di luar itu.

Tidak boleh juga berdasarkan ide politik untuk membentuk suatu tim tanpa berdasarkan hukum, apabila membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi pun harus melalui undang-undang.

Sebelumnya, pemerintah akan membentuk tim gabungan terpadu sebagai upaya pengungkapan dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu, yang terdiri atas berbagai lembaga terkait.

Menkopolhukam Wiranto mengatakan tim gabungan terpadu terdiri atas Kejaksaan Agung, Komnas HAM, Polri dan Kemenkumam itu, akan membedah satu persatu pelanggaran HAM masa lalu.
 

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018