Penyediaan vaksin yang aman dan halal adalah tanggung jawab negara dalam memenuhi hak anak..
Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Kesehatan kembali melanjutkan kampanye imunisasi Measles Rubella di 28 provinsi di luar Jawa, meskipun mempersilakan masyarakat menunda karena mempertanyakan kehalalan atau kebolehan vaksin yang akan dipergunakan.

Kementerian Kesehatan mempersilakan masyarakat yang ingin menunggu keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena lembaga tersebut akan mengeluarkan fatwa terkait dengan vaksin MR yang diproduksi di India.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Soleh mengatakan meskipun vaksin tersebut belum mendapatkan sertifikasi halal, bukan berarti bisa dikatakan haram. Begitu pula sebaliknya, belum bisa dipastikan halal karena belum melalui tahap pengujian.

Imunisasi sebenarnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak masa Orde Baru, Indonesia beberapa kali tercatat mengadakan Pekan Imunisasi Nasional. Pada saat itu, halal atau haram vaksin yang digunakan belum terlalu dipermasalahkan.

Menyikapi dinamika masyarakat yang mulai mempertanyakan kehalalan vaksin dan imunisasi, MUI sejatinya pernah beberapa kali mengeluarkan fatwa.

Pada 2002, MUI mengeluarkan fatwa tentang penggunaan vaksin polio khusus IPV yang menyatakan penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari atau mengandung benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram.

Namun, pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, dibolehkan sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.

Begitu pula pada 2005, MUI mengeluarkan fatwa tentang penggunaan vaksin polio oral (OPV) yang menyatakan pemberian vaksin tersebut kepada seluruh balita, dibolehkan sepanjang belum ada OPV jenis lain yang produksinya menggunakan media dan proses yang sesuai dengan syariat Islam.

Tentang imunisasi secara keseluruhan, MUI juga telah mengeluarkan Fatwa Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi.

Menurut fatwa tersebut, imunisasi pada dasarnya dibolehkan atau mubah sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu.

Fatwa tersebut juga mensyaratkan vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci dan penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan atau najis hukumnya haram.

Namun, terkait hukum haram vaksin yang berbahan haram dan atau najis, fatwa tersebut mengecualikan bila digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat, belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci, dan ada keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal.

Fatwa tersebut juga menyebutkan dalam hal bila seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib.

Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan.

"MUI telah mengeluarkan sejumlah fatwa terkait imunisasi. Tentu harus dilihat fatwa tersebut secara utuh bukan sepotong-sepotong yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh.

Dorong Pemerintah

Fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan MUI jelas mendorong pemerintah untuk menggunakan vaksin-vaksin yang halal.

Menurut Niam, pengadaan vaksin halal juga akan mempercepat cakupan imunisasi di Indonesia.

"Penyediaan vaksin yang aman dan halal adalah tanggung jawab negara dalam memenuhi hak anak, yaitu pemenuhan hak kesehatan dan keagamaan anak," kata dia.

Mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu, mengatakan keamanan vaksin merupakan upaya memenuhi hak kesehatan anak, sedangkan kehalalan vaksin untuk memenuhi hak keagamaan anak.

Menurut Niam, kedua hak itu dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah undang-undang yang berlaku di Indonesia.

"Ketiadaan keduanya, berarti pelanggaran. Anak harus diberikan hak-haknya, tidak boleh pemenuhan salah satu hak mengesampingkan hak-hak yang lain," tuturnya.

Niam mengatakan vaksin harus aman dan sesuai norma agama agar masyarakat tidak ragu mengimunisasi anaknya.

Apalagi, Pasal 2 Undang-Undang 36 Tahun 2009 jelas menegaskan salah satu asas pembangunan kesehatan adalah norma agama sehingga pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati agama yang dianut masyarakat.

Pasal 153 Undang-Undang Kesehatan juga berbunyi, "Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular melalui imunisasi".

Cegah

Imunisasi merupakan salah satu upaya penting untuk mencegah sejumlah penyakit.

Imunisasi bukan sekadar mencegah diri sendiri terkena penyakit, tetapi juga memiliki arti penting dalam menciptakan ketahanan komunitas terhadap suatu penyakit.

Ketua Satuan Tugas Imunisasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) Prof dr Cissy B Kartasasmita mengatakan terdapat tujuh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi sehingga anak perlu mendapatkan imunisasi yang lengkap.

Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi atau PD3I adalah polio, hepatitis B, pertusis, difteri, haemophilus influenzae tipe B, campak dan tetanus.

Cissy mengatakan PD3I masih menjadi ancaman kesehatan di dunia. Angka kejadian PD3I masih tinggi di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Kejadian penyakit menular di Indonesia cenderung menjadi kejadian luar biasa (KLB) yang mengakibatkan angka kematian tinggi dan biaya pengobatan individu meningkat yang menambah biaya kesehatan nasional.

"Karena itu, anak harus mendapatkan imunisasi lengkap baik imunisasi dasar maupun imunisasi lanjutan," tuturnya.

Namun, meskipun sudah kerap dikampanyekan, fakta tentang imunisasi di Indonesia masih cukup memprihatinkan. Pada kurun waktu 2014-2016, terdapat 1.716.659 anak di Indonesia belum mendapat imunisasi dan imunisasinya tidak lengkap.

"Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, beberapa alasan yang menyebabkan bayi tidak mendapatkan imunisasi antara lain takut panas, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, sibuk, sering sakit dan tidak tahu tempat imunisasi,", kata Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan drg Vesya Sitohang.

Vesya mengatakan anak panas akibat imunisasi sebenarnya merupakan reaksi wajar dari imunisasi sehingga orang tua tidak perlu khawatir dan takut. Beberapa hari setelah imunisasi, biasanya anak memang mengalami demam.

Sedangkan alasan orang tua tidak mengizinkan, Vesya mengatakan perlu ada sosialisasi untuk memberi pemahaman kepada masyarakat agar mengerti arti penting imunisasi bagi kesehatan anak.

"Untuk alasan sibuk, perlu dilihat mereka bekerja sebagai apa dan di mana. Perlu ada kerja sama dengan dunia usaha agar anak-anak pekerja bisa tetap mendapatkan imunisasi lengkap," tuturnya.

Baca juga: Melindungi buah hati dengan imunisasi
Baca juga: Bahaya Rubella mengincar si jabang bayi
Baca juga: Pemerintah tetap lanjutkan imunisasi MR

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018