Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah sedang mengembangkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA)  bersistem peaker, yang bisa dikembangkan selain untuk memenuhi kebutuhan listrik sekaligus meminimalkan penggunaan pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) pada saat beban puncak.

"Sistem peaker ini merupakan pembangkit yang berjalan saat permintaan listrik sedang tinggi," kata Direktur Teknik dan Lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Munir Ahmad dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu.

Salah satu PLTA tipe peaker yang kini sedang dikembangkan adalah PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan yang berkapasitas 4x127,5 MW. PLTA Batang Toru akan memanfaatkan kolam penampung yang tidak luas sehingga tidak akan mengubah bentang alam dan berdampak minimal pada ekosistem yang ada di sekitarnya.

Munir yang berbicara di diskusi Pojok Iklim itu menambahkan, saat ini bauran energi pembangkit listrik memang masih didominasi batubara yang boros emisi gas rumah kaca (GRK), namun harus menerapkan teknologi batubara bersih, terutama pada pembangkit yang sudah mapan seperti di Jawa-Bali.

"Ke depan, pembangkit batubara berteknologi lama tidak boleh lagi beroperasi," katanya.

 Ia mengatakan bauran energi pembangkitan listrik pada tahun 2017 lalu mencatat kontribusi EBT sebesar 12,52 persen. Dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2018-2027, kontribusi EBT dalam bauran energi pembangkitan tenaga listrik ditargetkan naik mencapai 23 persen pada tahun 2025.

Pada konferensi perubahan iklim di Paris, Perancis, tahun 2015, Presiden Joko Widodo berkomitmen mengurangi emisi GRK sebanyak 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan dukungan Internasional.

Komitmen itu dituangkan dalam dokumen kontribusi Nasional yang diniatkan (Nationally Determined Contributions/NDC) yang menjadi bagian dari traktak pengendalian perubahan iklim global, Persetujuan Paris. Dari target sebanyak 29 persen tersebut, sektor energi berkontribusi sebesar 11 persen.

Direktur Inventarisasi GRK dan Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) KLHK Joko Prihatno mengungkapkan, hasil inventarisasi GRK nasional menunjukkan Indonesia telah berhasil menurunkan emisi GRK sebesar 8,7 persen pada tahun 2016 dari target penurunan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030 berdasarkan Business As Usual (BAU) sesuai dokumen NDC

Pada tahun 2016, BAU emisi GRK adalah sebesar 1.764,6 juta ton setara karbondioksida (CO2e). Namun aksi mitigasi perubahan iklim yang telah dilakukan Indonesia berhasil menahan pelepasan emisi GRK sehingga hanya sebanyak 1.514,9 juta ton CO2e.

"Emisi GRK yang berhasil diturunkan sebanyak 249,8 juta ton CO2e. Jadi Indonesia berhasil menurunkan emisi GRK sebesar 8,7 persen dari emisi BAU pada tahun 2030 yang sebanyak 2.869 juta ton CO2e," katanya.

Untuk sektor energi, dari BAU emisi GRK sebanyak 712,26 juta ton CO2e, berhasil diturunkan sebanyak 93,68 juta ton CO2e atau telah berhasil berkontribusi sebesar 3,28 persen terhadap total emisi BAU pada tahun 2030 yang sebanyak 2.869 juta ton CO2e.

Target kontribusi penurunan emisi GRK pada BAU pada tahun 2030 yang sebanyak 2.869 juta ton CO2e adalah 11 persen atau 314 juta ton

Baca juga: Pengembangan pembangkit listrik harus optimalkan potensi energi lokal
Baca juga: Pameran teknologi EBT terbesar di Indonesia akan kembali digelar

 

Pewarta: Erafzon Saptiyulda SAS
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018