Jangan mudah termakan hoaks dari internet soal vaksin karena bisa menyesatkan..
Padang (ANTARA News) - Kendati terjadi pro dan kontra di sejumlah pihak terkait dengan imunisasi campak dan rubella, Pemerintah Kota Padang, Sumatera Barat menegaskan komitmen melanjutkan program tersebut dengan target 95 persen dari total anak mendapatkan imunisasi tersebut.

Pada satu sisi, status vaksin yang belum mendapatkan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat sejumlah orang tua khawatir akan kehalalan zat yang terkandung dalam vaksin.

Salah seorang warga Padang, Firman, mengaku bukan tidak mau memberikan vaksin kepada anaknya.

Namun, ia lebih hati-hati karena vaksin tersebut belum mendapatkan label halal.

Oleh sebab itu, ia memilih untuk menunda pemberian vaksin kepada dua buah hatinya hingga ada kejelasan status dari lembaga yang berwenang.

Pro dan kontra cukup mengemuka karena MUI Sumatera Barat juga menyarankan imunisasi Measles Rubella (MR) ditunda hingga ada kejelasan mengenai kehalalan bahan dasar pembuatan vaksin.

Ketua MUI Sumbar Gusrizal Gazahar mengatakan pihaknya telah menyurati MUI pusat yang intinya tidak menyetujui vaksinasi MR sampai keluarnya sertifikat halal dan merekomendasikan penundaan imunisasi hingga ada kejelasan.

Hal itu untuk menghilangkan keraguan dan kebingungan di tengah umat terkait dengan program imunisasi yang dilakukan pemerintah selama Agustus dan September 2018.

Penolakan terhadap imunisasi MR makin meluas di masyarakat karena informasi yang simpang siur, terutama di media sosial, terkait dengan bahan yang tidak halal hingga efek samping yang menakutkan.

Meski demikian, Dinas Kesehatan bersama sejumlah organisasi terkait tetap berupaya memberikan pemahaman dan sosialisasi tentang pentingnya imunisasi dan bahaya campak serta rubela yang bisa menyebabkan kematian. Akan tetapi, keraguan belum bisa sepenuhnya diatasi.

Hal itu juga sejalan dengan kebijakan yang diambil Pemerintah Kota Padang untuk tetap berkomitmen melanjutkan program itu.

Menurut Wali Kota Padang Mahyeldi, satu-satunya cara mencegah campak dan rubela dengan pemberian vaksin, sedangkan Balai POM juga sudah memeriksa vaksin ini untuk kemudian menyatakan aman digunakan.

Menurut dia, beberapa negara lainnya seperti Yaman dan negara di Eropa juga melaksanakan imunisasi ini dan pada tahun lalu di Padang juga ada imunisasi yang pelaksanaannya tidak ada masalah.

Terkait dengan kekhawatiran sejumlah orang tua terhadap pelaksanan vaksin ini, ia mengatakan Dinas Kesehatan harus lebih proaktif melakukan advokasi dan memberi penjelasan soal pentingnya imunisasi tersebut.

Melalu sosialisasi, masyarakat menjadi paham dengan imunisasi tersebut dan tidak ada lagi yang menolak program itu sehingga minimal 95 persen dari total anak diimunisasi.

Ia menyatakan jika jumlah target imunisasi kurang dari 95 persen berarti program tersebut gagal, padahal kasus campak dan rubela di Padang, berdasarkan temuan sebelumnya, angkanya cukup tinggi.

"Artinya, vaksinasi harus dilaksanakan kepada seluruh warga Padang. Saya mengimbau dapat melaksanakan dan mendukung kegiatan imunisasi ini," katanya.

Pelaksanaan imunisasi juga mendapatkan dukungan dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cabang Sumatera Barat karena merupakan upaya menyokong program pemerintah mengeliminasi campak dan rubela CSR pada 2030.

Ketua IDAI Cabang Sumbar dr Didik Hariyanto mengatakan dokter anak di Sumbar ikut andil mewujudkan cakupan imunisasi. Saat ini, sudah ada 85 dokter spesialis anak yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota di daerah itu.

Menurut dia, kendala pemberian vaksin adalah masih ada orang tua yang menolak dengan alasan haram.

Ia menilai hal itu isu yang sudah lama berkembang. Namun, pihaknya akan melakukan sosialisasi lebih intensif untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya imunisasi.

Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit mengatakan cakupan imunisasi di Sumbar baru 81,4 persen, sedangkan target nasional 92 persen.

Ia memastikan tidak ada lagi daerah di Sumbar yang tidak tersentuh akses layanan kesehatan, termasuk vaksin.

Terkait dengan masih ada pandangan yang menilai vaksin haram, Nasrul menyampaikan bahwa pihaknya akan mengoptimalkan promosi kesehatan.

Masyarakat pada level bawah sebenarnya tidak terlalu paham soal itu dan yang terpenting adalah bagaimana memberikan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan.


Tahu Informasi

Ikatan Dokter Anak Indonesia mengingatkan masyarakat untuk mencari tahu informasi seputar vaksin dari sumber yang akurat, berwenang, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Langkah masyarakat seperti itu guna mencegah beredarnya informasi sesat soal vaksin tersebut.

"Jangan mudah termakan hoaks dari internet soal vaksin karena bisa menyesatkan," kata Ketua I Pengurus Pusat IDAI dr Piprim Basarah Yanuarso.

Menurut dia, salah satu isu yang menguat soal vaksin adalah status kehalalan karena tidak ada sertifikat dari MUI, padahal vaksin yang tidak memiliki sertifikat halal bukan berarti statusnya tidak halal, hanya saja belum disertifikasi.

Piprim menegaskan vaksin dapat dinyatakan haram jika terbukti dalam kandungannya ada zat yang haram.

Ia menyampaikan hingga saat ini gerakan antivaksin tetap ada dan terus melakukan kampanye secara periodik dengan menyasar pada kejadian ikutan setelah imunisasi.

Ia memberi contoh tentang anak yang usai divaksin rubella, dua minggu kemudian kejang-kejang. Hal tu akan dikaitkan dengan pemberian vaksin. Padahal, waktunya sudah lama dan tidak ada hubungan dengan vaksin.

Oleh sebab itu, salah satu upaya melawan gerakan antivaksin adalah mengampanyekan bahaya suatu penyakit sehingga fokus masyarakat lebih ke penyakit.

Tentang apa bahaya rubela, masyarakat harus tahu sehingga akhirnya mau diberi vaksin.

Ia menilai sikap antivaksin pada dasarnya berawal dari semangat keagamaan menjaga diri dari yang haram, namun keliru dalam memahami.

Kepada masyarakat yang menolak vaksin, ia mengingatkan sikap tersebut kalau hanya merugikan diri sendiri tidak masalah.

Akan tetapi, ketika menolak dan anaknya mendapat rubela kemudian menular kepada ibu hamil yang berujung pada kecacatan janin maka mereka akan ikut bertanggung jawab.

Piprim menjelaskan sistem kekebalan tubuh manusia ada dua, yaitu kekebalan yang bersifat umum serta khusus.

Pemberian air susu ibu, vitamin, herbal dan sejenisnya hanya akan membangun sistem kekebalan tubuh yang bersifat umum.

Sistem kekebalan tubuh yang bersifat umum tersebut, tidak akan mampu menangkal serangan penyakit berbahaya sehingga dibutuhkan upaya untuk mengaktifkan sistem kekebalan tubuh khusus atau disebut sel V.

Sistem kekebalan tubuh khusus yang akan menangkal penyakit berbahaya. Hal itu hanya dapat diaktifkan melalui pemberian vaksin.

Ia mengatakan kekebalan khusus itu hanya akan aktif jika tubuh terpapar penyakit berbahaya. Ketika penyakit itu datang kembali menyerang maka tubuh menjadi imun.

Oleh sebab itu, jika ada yang menderita cacar maka dapat dipastikan tidak akan terserang lagi penyakit tersebut karena dalam tubuhnya sudah terbentuk sistem imun terhadap cacar.

Atas dasar itulah vaksin dibuat dari bakteri yang telah dilemahkan dan dimasukkan ke dalam tubuh sehingga saat penyakit datang maka tubuh akan langsung melawan.

Dia menjelaskan upaya menjinakkan bakteri yang telah dilemahkan dalam vaksin itu, melalui penelitian ahli berkompeten di bidangnya dalam waktu yang panjang, sekitar 10 sampai 15 tahun.

Oleh karena itu, dipastikan bakteri yang telah dijinakan dalam vaksin tersebut tidak akan membuat sakit, melainkan merangsang kekebalan tubuh khusus menjadi aktif ketika terserang penyakit.

Para ahli sudah menjamin bahwa vaksin itu aman. Selama ini ada jutaan anak di dunia yang diberikan vaksin dan tidak ada yang sakit akibat vaksin. Mereka malah makin meningkat kekebalan tubuhnya.

Ia memandang menolak vaksin sama artinya membiarkan wabah penyakit berkembang.

Oleh karena kurangnya ilmu dan pengetahuan seseorang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Padahal, seharusnya dapat dihindari.

Baca juga: Memperluas cakupan imunisasi dengan vaksin halal
Baca juga: Melindungi buah hati dengan imunisasi

 

Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018