Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi VII DPR Ahmad HM Ali menyarankan agar pemerintah mengubah kontrak karya (KK) Inco Vale Indonesia menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) supaya menguasai tambang bijih nikel di pegunungan Verbeek, Sulawesi.

"PT Vale sebagai salah satu maskapai pertambangan asing mempertontonkan sikap tidak kooperatif. Terhitung hampir dua tahun sejak diundangkan, hingga Juni 2011 PT Vale belum bersedia untuk maju ke meja perundingan dengan pihak pemerintah Indonesia," kata Ahmad HM Ali dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin.

Menurut Ali, rezim kontrak karya merupakan kisah panjang tentang kekalahan, contohnya, pada renegosiasi PT Inco generasi kedua mematok besaran pajak penghasilan terhitung sejak 1 April 2008 sebesar 30 persen yang notabene lebih rendah dibanding sebelumnya yang mencapai 45 persen.

Politikus dari Partai NasDem itu menceritakan, pada tahun 2007, Vale, maskapai tambang berbasis Brazil, berhasil mengakuisisi Inco yang pada tahun 1967 memenangkan konsesi bijih nikel di bawah rezim KK berdurasi puluhan tahun, ddengan luas areal mencakup 6,6 juta hektare di bagian timur dan tenggara Sulawesi.

Buntutnya, dengan bekal penguasaan saham mayoritas sebesar 58,73 persen, pada tahun 2011 PT Inco Tbk berubah nama menjadi PT Vale Indonesia Tbk. Perubahan nama dan struktur kepemilikan saham ini secara simultan berada pada momentum perubahan rezim dan renegosiasi KK sebagaimana amanah UU 4/2009.

Amandemen Kontrak Karya PT Vale akhirnya berhasil ditandatangani bersama pada oktober 2014. Amandemen kontrak karya tersebut dipandang Ali masih menyisakan sejumlah penanda kekalahan.

"Kekalahan utama justru tepat berada di jantung persoalan, yakni divestasi," ucapnya.

Menurut dia, PT Vale seharusnya menyepakati kewajiban mendivestasikan saham PT Vale sebesar 20 persen kepada peserta Indonesia (pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan pihak swasta dan individu Indonesia) sebagai tindak lanjut dari divestasi saham sebesar 40 persen kepada pihak Indonesia.

Alih-alih dikuasai oleh pihak Indonesia, dari 20,49 persen saham publik, sebagian besar justru dimiliki oleh pihak swasta asing, kata Ali.

"Padahal UU Minerba yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba secara eksplisit mewajibkan divestasi kepada peserta Indonesia sebesar 51 persen pada tahun?kesepuluh sejak produksi," ungkapnya.

Ali menekankan, jika acuannya perpanjangan KK, maka 51 persen saham kepada peserta Indonesia sudah harus terealisasi tahun 2006, mengingat KK telah diperpanjang sejak 1996.

Namun, jika merujuk pada permulaan pemberlakuan ketentuan dalam KK perpanjangan sejak 2008, maka realisasi divestasi 51 persen saham kepada peserta Indonesia adalah tahun 2018.

Ali menekankan, apapun basis waktu rujukannya, pemerintah saat ini harus menguasai mayoritas saham di PT Vale. Selama ini, lanjutnya, sektor pertambangan minerba sebagai sektor berciri padat modal, acap kali menjadi dalih bagi maskapai pertambangan untuk meminta kelonggaran dalam bentuk relaksasi ekspor bahan konsentrat.

"Dalam frame penyesuaian, hal tersebut boleh jadi masih dalam batas kewajaran. Tetapi dalam jangka panjang, kebijakan tersebut justru kontraproduktif dengan semangat dan kepentingan nasional untuk meningkatkan nilai tambah komoditas mineral," tegasnya.

Menurut dia, setidaknya ada dua kepentingan strategis di balik perubahan kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan. Pertama, penguasaan kembali sektor minerba oleh pelaku nasional dalam bentuk divestasi. Kedua, meningkatkan daya saing dan nilai tambah sektor minerba nasional dalam bentuk hilirisasi.

Ia berpendapat ada tiga langkah perlu segera ditempuh, yaitu mempercepat perubahan status KK PT Vale menjadi IUPK, mempercepat langkah divestasi saham dengan target pemilikan mayoritas oleh peserta nasional dan melalui pemilikan saham mayoritas sebagai pintu masuk, serta menyelenggarakan tata kelola korporasi dan pertambangan yang baik.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018