Dalam NDC (Nationally Determined Contribution) kita secara tegas disebutkan bahwa kontribusi terbesar penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) ada di sektor lahan. Tetapi belum secara fokus memprogramkan lahan gambut,
Jakarta (ANTARA News) - Pakar perubahan iklim dan lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Daniel Murdiyarso mengatakan pemerintah perlu lebih fokus dalam mengelola lahan gambut untuk menyudahi kebakaran hutan dan lahan sekaligus mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

"Dalam NDC (Nationally Determined Contribution) kita secara tegas disebutkan bahwa kontribusi terbesar penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) ada di sektor lahan. Tetapi belum secara fokus memprogramkan lahan gambut," kata Daniel usai menerima anugerah LIPI Sarwono Award XVII di Jakarta, Kamis.

Padahal dalam luasan kecil lahan gambut, menurut dia, jumlah karbonnya sangat besar. Sehingga jika memang ingin menembak target menurunkan emisi harus relevan dan juga efektif, antara lain dengan memilih mengelola lahan dengan kepadatan gambut yang tinggi.

Daniel membenarkan jika pemerintah harus lebih dulu fokus dalam tata kelola level air di lahan gambut guna memastikan karhutla tidak lagi terjadi sebelum bergeser memberikan perhatian lebih besar ke sektor energi, transportasi dan industri dalam target penurunan emisi GRK.

"Harus benar-benar diamati bersama. Masyarakat ikut juga, karena ini bukan hanya tugas pemerintah saja," lanjutnya.

Peneliti CIFOR itu mengatakan merestorasi gambut memang pekerjaan maha besar, dan mungkin istilah restorasi agak berat untuk Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk mewujudkannya, mengingat yang rusak itu merupakan ekosistem alam yang terbentuk ribuan tahun. Jadi bagaimana mungkin dalam lima tahun selesai merestorasi dua juta hektare (ha).

"Yang dilakukan sekarang ini sebenarnya rehabiliatasi, karena merestorasi sendiri artinya mengembalikan ke posisi semula. Jauh sekali dengan yang dilakukan sekarang. Tapi oke lah, dengan istilah restorasi kita jadi punya dorongan untuk membasahi dan menanami kembali lahan gambut," ujar dia.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa semua yang dilakukan dalam merestorasi gambut sudah baik.

"Saya lihat sendiri. Terlibat juga, ketika BRG meminta kami menyusun reference level emisi di lahan gambut yang bisa menjadi salah satu indikator mengukur keberhasilah restorasi. Misalnya, kalau emisinya kita sekarang 100 dan tahun depan bisa 80 atau 90 terhadap reference berarti restorasi sukses," ujar dia.

Menurut Daniel, pihaknya menyusun reference level dari 2006 hingga 2012, sehingga jangka waktunya cukup panjang untuk meng-cover dua hingga tiga periode kebakaran hutan dan lahan.

"Jadi harus fair ada saat kebakaran besar dan emisinya tinggi sekali. Kita set itu, jangan malu-malu," katanya.

Dengan cara ini reference level emisi lahan gambutnya menjadi adil dan realistis, lanjut Daniel. Dirinya menyebut angka 580 juta ton CO2 per tahun sebagai reference level emisi lahan gambut.

"Kalau kita bisa turunkan emisi dengan upaya, kebijakan, kerja sama finansial terukur, maka bisa dijadikan indikator bahwa restorasi gambut mencapai tujuan penurunan emisi, mengembalikan vegetasi, meningkatkan ekonomi masyarakat," ujar Daniel.


Baca juga: BPPT : Biopeat solusi pemanfaatan lahan gambut
Baca juga: Lahan gambut pesisir Kotawaringin Timur terbakar

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2018