Kami bilang pasal evaluasi ini tidak perlu. Seharusnya semangat RUU ini justru untuk melindungi keberadaan masyarakat adat, bukan justru sebaliknya,
Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat tergabung dalam Koalisi Kawal Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat menyebut draf RUU versi DPR masih berpotensi menghilangkan keberadaan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman dalam konferensi pers di Rumah AMAN di Jakarta, Senin, mengatakan RUU tersebut sudah pada tahap pembahasan di Badan Legislasi DPR.

Namun, katanya, dari segi substansi, draf RUU tersebut justru berpotensi menghilangkan keberadaan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

"Kita ingin mengakhiri istilah yang mendiskriminasi masyarakat adat di RUU tersebut, seolah yang terpencil dan bodoh itulah masyarakat adat," kata Arman.

Selain itu, ada pasal dalam RUU itu yang berbunyi tentang evaluasi keberadaan masyarakat adat dalam kurun waktu tertentu.

"Kami bilang pasal evaluasi ini tidak perlu. Seharusnya semangat RUU ini justru untuk melindungi keberadaan masyarakat adat, bukan justru sebaliknya," katanya.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam RUU Masyarakat Adat, menurut dia, penyederhanaan proses pendaftaran masyarakat adat.

Dalam RUU harus melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri), padahal proses pengakuan masyarakat adat di level kabupaten/kota saja sulit berjalan.

"Kementerian Dalam Negeri juga bilang, kalau RUU ini disahkan akan membebani APBN. Harusnya ini ruang kabupaten/kota," ujar dia.

Dia mengatakan bahwa dua bulan lalu AMAN sudah mengeluarkan hasil studi ekonomi masyarakat adat.

"Ternyata nilai pendapatan mereka lebih tinggi dari Upah Minimum Regional (UMR). Mereka juga jadi lebih mandiri," katanya.

Arman juga mengatakan dalam RUU Masyarakat Adat juga perlu ada pasal penyelesaian konflik.

"Bukan hanya remedi. Terakhir, perlu ditetapkan satu lembaga Komisi Masyarakat Adat sehingga jelas siapa yang bertanggung jawab mengurusi mereka," katanya.

Koalisi juga mencatat beberapa isu penting yang belum masuk dalam draf RUU, seperti Hak Perempuan Adat.

Menurut Ketua Umum Perempuan Aman, Devi Anggraini, menempatkan perspektif gender di dalam RUU Masyarakat Adat menjadi tantangan besar.

"Kami mengikuti proses draf RUU Masyarakat Adat ini, kami sadar betul bahwa banyak masukan terkait perspektif gender yang tidak ada di dalam RUU versi DPR, baik di awal gagasan hingga diskusi yang telah cukup panjang di Baleg dan AMAN," katanya.

Padahal, menurut Devi, dalam realitas di lapangan perempuan adat yang mampu merepresentasikan nilai adat, jembatan pengetahuan dan menjadi kunci untuk meneruskannya ke generasi mendatang supaya tetap merepresentasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan keseharian mereka.

Hal itulah, katanya, yang memastikan keberagaman yang dikenal sebagai kebhinekaan yang menjadi identitas bangsa Indonesia.

Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Khalisah Khalid mengemukakan masyarakat adat dalam mengelola kekayaan alam dengan keragamannya.

"Bagi masyarakat adat, hutan misalnya bukan hanya tegakan kayu, tetapi juga sebagai apotik hidup dan rumah bagi berbagai spesies keanekaragaman hayati dan ikatan spiritualitas antara masyarakat adat dengan alamnya," kata dia.

Khalisah mengatakan tragisnya berbagai industri ekstraktif yang monokultur, seperti perkebunan sawit dan hutan tanaman industri telah menghancurkan seluruh nilai-nilai keberagaman dalam kebudayaan masyarakat adat terhadap kekayaan alamnya.

Ia mengemukakan kewajiban negara memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat atas kekayaan alam dan lingkungan hidupnya.

Baca juga: AMAN bawa isu masyarakat adat ke pertemuan iklim global
Baca juga: AMAN pertanyakan wilayah adat dalam satu peta

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2018