Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Yusa Djuyandi mengimbau dua kubu pendukung pasangan capres-cawapres memperbanyak kampanye positif dalam Pipres 2019.

"Di tengah ramainya tagar #2019gantipresiden dan #2019tetapjokowi harusnya kedua lini massa pendukung atau tim sukses lebih menguraikan apa saja kelebihan dari pasangan calon yang di dukungnya di balik dari tagar yang sudah beredar," kata Yusa dihubungi di Jakarta, Selasa. 

Dia mengatakan pro dan kontra soal #2019gantipresiden dapat dinilai sebagai sesuatu yang wajar ditengah kegandrungan masyarakat dengan media sosial.

Oleh karena itu, kata dia, tagar #2019gantipresiden juga tidak perlu di respon secara berlebihan, begitu juga sebaliknya dengan tagar #2019tetapjokowi untuk tidak disikapi dengan berlebihan.

Yang semestinya dilakukan massa pendukung adalah menjelaskan kelebihan calon masing-masing, atau jika ingin membuat kritik yakni dengan melontarkan objektif terhadap pasangan calon lain dibalik tagar tersebut. 

"Semisal mengapa perlu mendukung Jokowi sebagai petahana ketimbang Prabowo, atau mengapa perlu mendukung Prabowo ketimbang Jokowi sebagai petahana. Perlu ada alasan yang lebih logis, objektif dan mencerdaskan di balik tagar ketimbang hanya meramaikan masing-masing tagar," jelasnya. 

Dia menekankan, Pilpres merupakan bagian dari pesta demokrasi. Seluruh pihak perlu menciptakan pesta demokrasi yang baik yang mampu mencerdaskan seluruh rakyat agar hasilnya berkorelasi positif bagi teciptanya perubahan.

Lebih jauh dia mengatakan sejatinya dalam politik tidak ada sebuah koalisi yang abadi. Dua calon yang kini bersaing yaitu Prabowo dan Jokowi pernah berada dalam satu koalisi, yaitu ketika Prabowo melalui Gerindra mendukung Jokowi-Ahok pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2012. 

Pertemanan politik ini pecah pasca-Jokowi menjadi capres dengan diusung oleh PDI Perjuangan di tahun 2014.

"Bahkan jika melihat lebih jauh lagi antara Gerindra dengan PDI Perjuangan keduanya pernah saling berkoalisi dalam Pilpres tahun 2009. Dimana kala itu Prabowo menjadi Cawapres dari Megawati," kata dia. 

Fenomena ini, menurutnya, menunjukkan bahwa dalam politik tidak ada suatu koalisi yang abadi. 

Bahkan kata dia, jika melihat kondisi kekinian dari perhelatan Pilkada 2018, di beberapa daerah antara Gerindra, PDI-P, PKS, PAN ataupun partai lainnya bisa saling berkoalisi. Hal tersebut menunjukan bahwa kontestasi politik di level nasional tidak berkorelasi dengan di tingkat daerah. 

"Tapi agaknya persaingan politik Pilpres 2019 terlalu banyak mengesampingkan hal itu," jelasnya.

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018