Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi menahan hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Medan Merry Purba yang telah ditetapkan sebagai tersangka suap.

Sebelumnya, KPK pada Rabu telah resmi menetapkan Merry Purba (MP) sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi menerima hadiah atau janji oleh hakim PN Medan secara bersama-sama terkait putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

"MP ditahan 20 hari pertama di Rutan Cabang KPK di belakang gedung Merah Putih KPK Jakarta," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.

KPK total telah menetapkan empat tersangka, yaitu Merry dan panitera pengganti PN Medan Helpandi (H) sebagai pihak penerima. Sedangkan Tamin Sukardi (TS) dari swasta, dan Hadi Setiawan (HS) dari swasta atau orang kepercayaan Tasmin sebagai pihak pemberi.

Seusai menjalani pemeriksaan, Merry membantah telah menerima suap terkait putusan tersebut.

"Tidak ada, memang tidak ada penerimaan apa pun," ucap Merry yang telah mengenakan rompi jingga tahanan KPK itu.

Ia pun menyatakan mengetahui Tamin karena sedang beperkara di PN Medan. Namun, ia tidak mengenal dan juga tidak pernah bertemu Tasmin di luar persidangan,

"Tidak, tidak kenal, lewat perkara saja kan waktu sidang saja," kata Merry.

Saat dikonfirmasi apakah ada hakim lain di PN Medan yang menerima suap tersebut, ia menyatakan tidak mengetahuinya.

"Ya, tidak tahu saya, saya pun tidak ngerti penerimaan uang saya tidak ngerti," ucap Merry.

Merry diduga menerima total 280 ribu dolar Singapura (sekitar Rp3 miliar) terkait putusan perkara tindak pidana korupsi nomor perkara 33/pid.sus/TPK/2018/PN.Mdn dengan terdakwa Tamin Sukardi yang ditangani PenGadilan Tipikor pada PN Medan.

Tamin Sukardi adalah pemilik PT Erni Putra Terari. Dalam perkara itu, Tamin menjadi terdakwa perkara korupsi lahan bekas hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II.

Tamin menjual 74 hektare dari 126 hektare tanah negara bekas HGU PTPN II kepada PT Agung Cemara Realty (ACR) sebesar Rp236,2 miliar dan baru dibayar Rp132,4 miliar.

Dalam putusan yang dibacakan 27 Agustus 2018, Tamin dihukum enam tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp132 miliar,"

"Vonis itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yang meminta Tamin divonis 10 tahun pidana penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp132 miliar," ungkap Ketua KPK Agus Rahardjo saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu.

Meski divonis dan diwajibkan membayar uang pengganti,  lahan yang dituntut jaksa untuk dikembalikan kepada negara tetap dikuasai oleh Tamin dan lahan 74 hektare tetap dimiliki PT ACR.

Hakim Merry adalah salah satu anggota majelis hakim menyatakan "dissenting opinion" dalam vonis tersebut. Sedangkan ketua majelis hakim adalah hakim Wahyu Prasetyo Wibowo. Ia adalah ketua majelis hakim yang kasusnya belakangan populer dibicarakan, yaitu perkara mengenai pengeras suara masjid yang dikategorikan sebagai penodaan agama oleh seorang warga kota Tanjung Balai (Sumut) Meliana. Meliana divonis 18 bulan penjara, tetapi ia mengajukan banding.

"Sebelum kegiatan tangkap tangan sudah ada pemberian 150 ribu dolar Singapura kepada hakim MP. Pemberian ini merupakan bagian dari total 280 ribu dolar Singapura yang diserahkan TS melalui H orang kepercayaannya pada 24 Agustus 2018 di hotel JW Marriot Medan," tambah Agus.

Total pemberian uang yang terealisasi adalah 280 dolar Singapura dengan 130 ribu ditemukan KPK di tangan H dan 150 ribu dolar Singapura diduga diterima hakim MP.

"KPK mengingatkan agar kepada tersangka HS (Hadi Setiawan) yang diduga memiliki peran dalam perkara ini agar bersikap kooperatif dan segera menyerahkan diri pada KPK," ucap Agus.

Baca juga: KPK tetapkan hakim PN Medan sebagai tersangka

Baca juga: MA nonaktifkan hakim dan panitera PN Medan

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2018