Kuncinya, pendapatan petani perlu dijaga, tetapi harga beras yang terjangkau bagi konsumen juga sama pentingnya..
Malang (ANTARA News) - Melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Kebijakan Pengadaan Gabah atau Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah, pemerintah menetapkan besaran harga serapan gabah maupun beras yang bisa dilakukan oleh Perum Bulog.

Dalam ketentuan tersebut, besaran Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Perum Bulog untuk gabah kering panen sebesar Rp3.700 per kilogram di tingkat petani dan Rp3.750 per kilogram di tingkat penggilingan.

Sementara untuk gabah kering giling, HPP ditetapkan Rp4.600 per kilogram di tingkat penggilingan dan Rp4.650 di gudang Bulog.

Dalam dunia perberasan, peran Perum Bulog tidaklah kecil. Perusahaan Plat Merah tersebut, harus memiliki stok beras yang cukup untuk "memadamkan api" saat terjadi kenaikan harga beras di level konsumen.

Jika stok yang dimiliki Perum Bulog rendah, maka kondisinya rentan akan terjadinya kenaikan harga.

Pelaku usaha yang menguasai suatu komoditas tertentu akan dengan sangat mudah untuk mengambil keuntungan yang tinggi.

Hal tersebut disebabkan, tidak adanya pihak lawan yang mampu memenuhi permintaan pasar atas komoditas tersebut.

Peranan Perum Bulog saat harga beras khususnya kualitas medium di dalam negeri sedang tinggi, selalu diharapkan mampu mengintervensi pasar dan menurunkan harga. Dengan catatan, Perum Bulog memiliki stok yang cukup untuk mengguyur pasar beras nasional.

Berkaca pada kondisi awal tahun 2018, posisi Perum Bulog saat itu terbilang sulit. Bagaimana tidak, harga beras di tingkat konsumen sudah melambung, namun, langkah operasi pasar yang dilakukan oleh Perum Bulog tidak memberikan hasil yang signifikan.

Akhirnya, dalam kondisi harga beras yang terus merangkak naik, pemerintah memutuskan untuk menambah pasokan dengan melakukan importasi beras dari Thailand dan Vietnam.

Saat itu, beras yang diimpor sebanyak 500 ribu ton. Dan, pada akhirnya total importasi yang dilakukan pada 2018 mencapai dua juta ton.


Stok Beras

Berdasarkan data Perum Bulog, hingga 21 Agustus 2018 stok beras yang dimiliki mencapai 2,17 juta ton.

Dari total stok yang dimiliki Perum Bulog tersebut terbagi dari beras medium dalam negeri yang merupakan hasil serapan sebanyak 811.391 ton, stok komersial sebanyak 148.663 ton, dan beras asal impor sebanyak 1,21 juta ton.

Merujuk data tersebut, beras kualitas medium hasil dari serapan Perum Bulog berada di bawah stok beras ex-impor yang sebesar 1,21 juta ton.

Serapan bulog yang terbilang rendah tersebut diakibatkan dari tingginya harga gabah, yang sudah melebih HPP.

Sebagai salah satu contoh, Bulog Sub Divre VII Malang menetapkan target serapan beras sebesar 42.900 ton pada 2018. Hingga 31 Agustus 2018, total serapan yang sudah terealisasi sebesar, 17.175,9 ton beras, atau masih sebesar 40,04 persen.

Kepala Bulog Sub Divre VII Malang Fachria Latuconsina mengatakan bahwa serapan gabah dan beras yang harus dilakukan oleh Perum Bulog dari dalam negeri terkendala tingginya harga, di mana hingga saat ini realisasi penyerapan gabah dan beras masih berada di bawah target yang telah ditetapkan.

"Realisasi mencapai 17.175,9 ton, atau 40,04 persen. Kendala yang dihadapi adalah harga gabah beras di atas HPP, dan panen sudah mulai berkurang," kata Fachria.

Fachria menambahkan, tugas Perum Bulog menyerap gabah atau beras, saat harga komoditas tersebut sedang rendah, atau berada di bawah HPP. Pada 2017, realisasi serapan tercatat sebesar 53 persen dari target yang ditetapkan sebanyak 67.100? ton.


Perlunya Evaluasi

Namun, permasalahan terkait perberasan nasional bukan hanya soal HPP dan serapan Perum Bulog. Jika HPP dinaikkan, maka secara tidak langsung akan mengerek inflasi, yang harus dan terus dikendalikan pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat.

Ketua Dewan Penasehat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi kepada Antara mengatakan bahwa persoalan HPP gabah dan beras tersebut harus dilihat dengan kacamata yang lebih luas.

HPP gabah beras yang ada saat ini, sudah seharusnya dievaluasi karena besaran yang ditetapkan pemerintah tiga tahun lalu itu sudah tidak sesuai dengan kondisi pasar. Harga pasar gabah dan beras saat ini sudah jauh melampaui HPP yang ditetapkan.

"Saya kira perlu dievaluasi, karena HPP tersebut sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi pasar, baik pasar beras dan gabah. Selain itu juga sudah terjadi kenaikan biaya-biaya usaha tani," kata Bayu.

Namun, Bayu memahami pertimbangan pemerintah yang tetap ingin mengendalikan inflasi.

Jika HPP dinaikkan, dapat dilihat sebagai langkah "membenarkan inflasi" atau secara akademik biasa disebut `validated inflation`, karena harga beras masih merupakan salah satu komponen penting penentu inflasi.

"Kuncinya, pendapatan petani perlu dijaga, tetapi harga beras yang terjangkau bagi konsumen juga sama pentingnya. Karena, hanya dalam waktu beberapa bulan setelah panen, keluarga petani akan sepenuhnya jadi konsumen beras dan beli beras dari pasar," kata Bayu.

Menurutnya, ada tiga catatan yang harus dilihat lebih menyeluruh terkait masalah tersebut. Pertama, soal biaya produksi beras di Indonesia yang jauh lebih tinggi dibanding negara-negara sekitar. Komponen biaya terbesar adalah sewa lahan dan upah tenaga kerja.

"Hal tersebut harus dicari solusinya," kata Bayu.

Baik pemerintah maupun akademisi, lanjut Bayu, harus sangat bijak dan seksama dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang terbaik di dunia untuk mengelola seluruh unsur kebijakan pangan.

Karena, ke depannya masalah pangan akan semakin serius bagi semua negara di dunia bukan hanya Indonesia.

Selain itu, terkait dengan pendapatan petani yang tidak seharusnya hanya tergantung dari harga gabah.

Pemerintah perlu mendorong adanya sumber pendapatan lain yang lebih menjanjikan dan tidak menimbulkan dilema, seperti inflasi, dan masalah keterjangkauan oleh konsumen.

"Urusan peningkatan pendapatan petani harusnya lebih diprioritaskan dibandingkan hanya sekedar kebijakan swasembada. Atau dengan kata lain, kebijakan swasembada tidak boleh mengorbankan kesejahteraan petani," kata Bayu.

Pekerjaan besar pemerintah untuk melakukan evaluasi HPP gabah dan beras tersebut tidaklah mudah. Di satu sisi, penyesuaian perlu dilakukan karena harga gabah dan beras di pasar sudah mengalami kenaikan.

Namun, jika langkah tersebut tidak dievaluasi secara seksama, maka dampaknya adalah tingkat inflasi yang tinggi.

Akan tetapi, di sisi lain, para petani juga memerlukan jaminan pendapatan yang mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka. HPP saat ini bukan hanya dipergunakan sebagai acuan pembelian gabah dan beras petani oleh Perum Bulog, akan tetapi juga para pedagang.

Meskipun harga beras di pasar konsumen tinggi, belum tentu pendapatan yang didapat oleh petani meningkat karena biasanya posisi tawar yang dimiliki petani sangat rendah.

Baca juga: Asa kestabilan harga dari manajemen tanam padi
Baca juga: Pemerintah diminta perbaiki data beras

Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018