Jakarta (ANTARA News) - Peran Indonesia yang telah terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020, diharapkan dalam mediasi dan negosiasi untuk menghadapi perang menggunakan teknologi sebagai senjata.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Anggota Majelis Komite Palang Merah Internasional (ICRC) Jurg Kesselring dalam konferensi regional bertema Contemporary Warfare: Global Trends and Humanitarian Challenges yang diselenggarakan bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta, Rabu.

Menurut Jurg, penting bagi masyarakat seluruh dunia untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan hukum internasional di tengah perkembangan berbagai teknologi baru yang bisa berubah menjadi ancaman seperti perang siber, penggunaan pesawat tanpa awak (drone), dan senjata mematikan otomatis.

"Menjalankan mandat kemanusiaan adalah tanggung jawab yang kami bagi bersama negara-negara di dunia, itu sebabnya saya bersyukur pemerintah Indonesia telah sepakat berkolaborasi dan mengambil peran dalam hal ini," tutur dia.

Indonesia dianggap mitra yang tepat untuk mendiskusikan isu ini mengacu pada perannya ikut menciptakan suara moderasi dalam DK PBB yang berfokus pada solusi pencegahan dan kerja sama saat terakhir kali duduk sebagai anggota tidak tetap periode 2007-2008.

Baca juga: Empat hal yang membuat RI anggota DK PBB, menurut Jokowi

Indonesia dinilai memahami pentingnya dialog, mediasi dan negosiasi, atas dasar hukum internasional, serta membangun masyarakat yang untuk mencegah bencana kemanusiaan yang dapat dibawa oleh konflik dan perang.

Dalam konteks penggunaan perangkat lunak, kecerdasan buatan, dan robot sebagai sarana perang, negara-negara termasuk Indonesia perlu memperjelas aturan untuk melindungi warga dan infrastruktur sipil dalam konflik bersenjata yang ada di domain siber.

"Untuk ICRC, penting untuk menekankan bahwa aturan yang ada berlaku sebanyak mungkin untuk domain siber seperti yang mereka lakukan di domain fisik. Setiap serangan siber dalam konflik bersenjata harus selalu membedakan antara target militer yang sah dan objek sipil yang dilindungi, jaringan atau infrastruktur, dan serangan sembarangan dan tidak proporsional tidak lagi dapat diterima di ruang siber daripada di dunia fisik," tutur Jurg.

Tantangan ini sangat jelas ketika mempertimbangkan bahwa jaringan infrastruktur militer dan sipil tumbuh semakin terintegrasi atau saling terhubung. Tidak terkendali, konflik di dunia maya membawa potensi risiko baru bagi populasi sipil yang harus diperhatikan.

Bidang lain yang penting untuk dipertimbangkan adalah kekhawatiran yang muncul dengan meningkatnya otonomi dalam sistem senjata, yang terkait erat dengan perkembangan kecerdasan buatan dan robotik. 

ICRC telah menegaskan bahwa kontrol manusia harus dipertahankan atas sistem persenjataan untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum internasional. 

"Kita harus memastikan bahwa hukum kemanusiaan internasional diterapkan secara tepat ketika teknologi dan peperangan berevolusi, sambil tetap mengingat bahwa norma dan aturan baru mungkin diperlukan," kata Jurg.

Merespons pernyataan tersebut, Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mengatakan bahwa konferensi yang membahas tren global dan tantangan kemanusiaan dalam perang kontemporer itu sebagai permulaan bagus yang hasilnya kemudian dapat dibawa untuk dijadikan pembentukan norma-norma baru melalui PBB.

"Setting new norm itu harus dilakukan melalui PBB, tetapi konferensi ini adalah permulaan yang bagus," tutur Menlu Retno.

Baca juga: Ancaman keamanan siber sebabkan kerugian miliaran dolar bagi organisasi di Indonesia

Baca juga: Presiden tekankan pentingnya kewaspadaan terhadap serangan siber


Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018