"Presiden Jokowi harus mempelajari kesalahan Menteri Perdagangan tentang impor-impor yang sudah dilakukan, agar bisa menahan penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS itu"
Pekanbaru (ANTARA News) - Akademisi yang juga pengamat ekonomi dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Profesor Elfindri, memaparkan sejumlah indikator utama ekonomi Indonesia ketika mengalami krisis moneter tahun 1997 lebih baik dibandingkan dengan tahun ini.

"Pada tahun 1997 tercatat defisit transaksi berjalan sebesar minus 4,89 miliar dolar AS dan nilai tersebut lebih kecil dari defisit transaksi berjalan tahun 2018, yang mencapai minus delapan miliar dolar AS," kata Elfindri dihubungi dari Pekanbaru, Riau, Jumat.

Baca juga: BPS: Neraca perdagangan Juli defisit 2,03 miliar dolar

Menurut dia, secara persentase terhadap Gross Domestic Product (GDP), defisit transaksi berjalan tahun 1997 tercatat sebesar minus 2,2 persen dari GDP, juga lebih kecil dari tahun 2018 yang tercatat sebesar minus 3,04 persen dari GDP.

Indikator lainnya, lanjut dia, pada 1997 neraca perdagangan justru tercatat surplus sebesar 410 juta dolar AS,  atau berbanding terbalik dari tahun 2018 yang neraca perdagangan (kumulatif Januari-Juli 2018) mencatat defisit sebesar 3,02 miliar dolar AS.

"Beberapa indikator seperti rasio cadangan devisa dan inflasi, pada 1997 memang lebih buruk dari 2018. Tercatat cadangan devisa tahun 1997 hanya sebesar 2,9 bulan impor, lebih buruk dari cadangan devisa tahun 2018 yang mencapai 6,9 bulan impor. Inflasi tahun 1997 juga lebih tinggi yaitu sebesar 6,2 persen, sedangkan  tahun 2018 yang hanya sebesar 3,2 persen," katanya.

Sementara, indikator-indikator lainnya nyaris setara yakni Debt Service Ratio (DSR) tahun 1997 sebesar 30 persen, hanya sedikit lebih tinggi dari tahun 2018 yang tercatat sebesar 26,2 persen.

Untuk rasio investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) terhadap GDP pada tahun 1997 tercatat sebesar 1,48 persen, sedangkan tahun 2018 tercatat sebesar 1,5 persen.

"Dan yang terakhir, peringkat surat utang (bond) dari lembaga internasional semacam Standard & Poor`s pada tahun 1997 dan 2018 ternyata sama-sama BBB," katanya.

Oleh karena itu untuk menahan penurunan nilai tukar rupiah tersebut Pemerintah perlu melakukan gerakan kemandirian, untuk memastikan dalam enam bulan ke depan tersedia pangan dan keperluan pokok lainnya.

Selain itu, katanya, Pemerintah perlu menunda proyek-proyek yang memerlukan kebutuhan impor, berikutnya upayakan untuk menggarap secara mikro peningkatan ekspor yang bahan bahannya sudah jadi, lakukan penghematan dan consumption thrift terhadap produk impor.

Baca juga: Pemerintah sesuaikan pajak penghasilan impor 1.147 komoditas

"Presiden Jokowi harus mempelajari kesalahan Menteri Perdagangan tentang impor-impor yang sudah dilakukan, agar bisa menahan penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS itu," katanya.

Baca juga: Mendag yakin kenaikan PPh impor tidak picu inflasi




 

Pewarta: Frislidia
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2018