"Kami tidak akan membuat kebijakan baru yang menimbulkan ketidakpastian"
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah tetap membuat kebijakan yang berhati-hati dan terukur menyikapi situasi perekonomian nasional yang tengah bergejolak karena melemahnya nilai kurs rupiah atas dolar Amerika Serikat.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentu tidak akan membuat masyarakat dan pasar resah. Sebab, Indonesia tetap membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas.

"Di tengah ketidakpastian ini tentu kita tidak mengeluarkan kebijakan yang membuat investor khawatir," ujar Iskandar dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk "Bersatu untuk Rupiah" di Ruang Serba Guna, Kemenkominfo, Jakarta, Senin.

Iskandar menuturkan, kebijakan menyikapi depresiasi nilai tukar rupiah, tidak akan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Iskandar menambahkan, untuk mengurangi tekanan defisit transaksi berjalan yang cukup tinggi pada triwulan II-2018 lalu ialah dengan mendorong aliran modal masuk (capital inflow), salah satunya melalui Bank Indonesia (BI) memberikan fasilitas swap atau lindung nilai bagi para pelaku usaha baik eksportir maupun importir terkait kebutuhan mereka akan dolar AS. Selain itu, BI tengah menyiapkan mekanisme untuk mendorong konversi DHE (Devisa Hasil Ekspor).

"Di luar itu tentu bagaimana menggerakkan volume ekspor kita ke pasar-pasar baru," kata Iskandar.

Pemerintah juga tidak akan membuat resah investor dengan membuat ketidakpastian baru, misalnya dengan mengubah UU terkait fiskal atau sektor riil ekonomi.

Menurut Iskandar, Indonesia tengah membutuhkan aliran modal, khususnya di pasar valas, maka pemerintah dan BI terus menciptakan pendalaman pasar agar investor terpikat lagi masuk ke sini.

"Kami memastikan risiko nilai tukar dalam hal mengkonversikan (ke dolar) sudah terjaga. Kami tidak akan membuat kebijakan baru yang menimbulkan ketidakpastian," ujarnya.

Pihak Kemenko Perekonomian bersama kementerian terkait lain serta BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selalu membuat bauran kebijakan baik dari sisi fiskal, moneter, dan menggerakan sektor riil.

"Misalnya dalan aturan kenaikan PPh Impor Pasal 22 yang sebenarnya tidak mengubah dan tidak melangggar aturan WTO. Jadi misalnya importir membayar pajak 10 miliar, lalu kena pajak 10 persen, artinya dia membayar 1 miliar, jika PPh final 2,5 miliar, nilai itu 1 miliar bisa dikreditkan. Jadi dengan kata lain itu sebenarnya mereka membayar yang sama," ujar Iskandar.

Staf Ahli Menkeu Robert Leonard Marbun menambahkan, meskipun ada sejumlah kebijakan secara jangka pendek dan menengah untuk mengendalikan melemahkan nilai tukar rupiah, pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan masih positif.

"Jika dilihat dari inflasi rata-rata tahun depan masih di kisaran 3,5 persen, konsumsi rumah tangga sekitar 5,1 persen," katanya.

Baca juga: Pemerintah sebut pelemahan rupiah tidak perlu dikhawatirkan berlebihan

Baca juga: Data ekonomi AS picu pelemahan kurs rupiah pagi ini


 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2018