Magelang, 13/9 (ANTARA News) - Kepulan asap dari pembakaran cobek menerpa Kunjaimah (70) dan Istiwarti (50) di Dusun Klipoh, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Sementara  sejumlah produk gerabah tanah liat yang merupakan hasil kepandaian turun temurun di kawasan Candi Borobudur terlihat berjajar diterpa sinar matahari untuk membuatnya kering.

Dua perempuan itu menggunakan sepotong bambu mengambil satu demi satu cobek yang telah matang, dari tempat pembakaran di bengkel kerja di halaman rumah mereka, lalu menatanya ganden rapi di tempat terpisah.

Sepanjang siang, mereka melakukan pembakaran gerabah tersebut setelah 10 hari sebelumnya membentuk tanah liat secara manual menjadi cobek atau peralatan dapur untuk menghaluskan bumbu, dan menjemurnya selama tiga hari di bawah sinar matahari.

Hari itu mereka membakar 200 cobek yang bisa dijual dengan harga  Rp2.000,per buah sedangkan produk lainnya berupa "blengker" atau alas kuali dengan harga Rp1.500 dan kuali antara Rp3.000-Rp5.000.

Mereka adalah bagian dari para  perempuan yang mewarisi kepandaian leluhur di Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, sekitar 3,5 kilometer barat Candi Borobudur, menjadi pembuat gerabah.

Keterampilan  membuat gerabah didapat secara turun temurun, sehingga Mbah Jaimah  (Kunjaimah mengaku tidak mengingat lagi bagaimana dia pada awalnya belajar dari simboknya (ibunda) untuk menjadi perajin produk tradisional itu.

Kepandaian perempuan berumur itu bagaikan datang begitu saja secara alamiah, seiring dengan perjalanan hidup sehari-harinya karena sejak kecil berada di lingkungan para pembuat gerabah di kawasan peninggalan cagar budaya dunia tersebut.

Sudah turun temurun anak cucu. Belajar dari simbok. Dulu membuat kelenting juga," ucap dia dengan bahasa Jawa.

Istiwarti masih bisa membuka memorinya sehingga bisa menyebut sejak umur 12 tahun belajar membuat aneka gerabah dari simboknya itu.

Setiap gerabah produksi mereka diambil pembeli perantara yang membawanya ke berbagai pasar dan warung penyedia gerabah di sekitar Magelang.

Mereka menuturkan,  dahulu, para suamilah yang membawa hasi gerabah untuk dijual  ke pasar-pasar dengan pikulan.

Mereka menjadi jejak penting peranan kaum perempuan kawasan Candi Borobudur hingga saat ini yang mungkin bisa memberikan inspirasi istimewa bagi ribuan tokoh perempuan dunia yang sedang Sidang Umum Ke-35 International Council of Women (ICW), organisasi perempuan dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia. Pertemuan mereka selama 11-20 September 2018 dipusatkan di Yogyakarta.

Di antara agenda pertemuan, para peserta pada  18-19 September akan berkegiatan di kawasan Candi Borobudur dengan mengunjungi 20 balai ekonomi desa (balkondes) yang tersebar di desa-desa sekitar candi tersebut, termasuk Balkondes Karanganyar yang tak jauh dari Dusun Klipoh.

Ketua Panitia Pelaksana Sidang Umum ke-35 ICW dan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia, Gatot Subagio mengemukakan pertemuan para tokoh perempuan dunia itu merupakan kesempatan berharga bagi Indonesia untuk menunjukkan kearifan lokal kepada masyarakat internasional.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan 35 perusahaan BUMN mendukung suksesnya Sidang Umum Ke-35 ICW dan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia. Berbagai balkondes di kawasan Candi Borobudur di bawah bimbingan dan pembinaan perusahaan-perusahaan pelat merah itu.

Delegasi, kata Gatot yang juga Sekretaris Perusahaan PT Patra Jasa, akan diperkenalkan dengan berbagai program pemberdayaan ekonomi di perdesaan kawasan Candi Borobudur yang juga digerakkan oleh perempuan.

Kerajinan gerabah Klipoh sebagai salah satu wujud produk ekonomi dan kearifan lokal yang memperkuat kepariwisataan Candi Borobudur. Gerabah Klipoh sebagai hasil kepandaian turun temurun tangan-tangan para perempuan dusun setempat, telah menjadi ikon kepariwisataan kawasan Candi Borobudur.    

Terpatri
  
Jejak perempuan pembuat gerabah terpatri di relief Candi Borobudur. Tepatnya di lorong pertama sisi utara, pagar langkan bawah, bidang H nomor 5 dan bidang I nomor 1 candi yang dibangun sekitar abad ke-8 masa Dinasti Syailendra itu.

Candi Borobudur dibangun di antara Kali Elo dan kali Progo selama sekitar 100 tahun dengan tatanan kurang lebih dua juta batuan andesit dari letusan Gunung Merapi, termasuk untuk 1.460 reliefnya.    

Pemandu tamu penting dan tamu negara di Candi Borobudur Mura Aristina menjelaskan tentang relief gerabah yang mengisahkan masyarakat pada masa lampau dalam membuat piranti yang antara lain untuk mengangkut air, menyimpan dan memasak makanan, serta menyimpan abu jenazah itu.

 "Memang relief (gerabah, red.) itu tidak banyak diketahui masyarakat," kata Mura yang juga petugas Balai Konservasi Borobudur itu.

Para pekerja pembangunan Candi Borobudur itu pada zamannya diperkirakan secara kuat, juga menggunakan berbagai piranti dari gerabah untuk keperluan sehari-hari mereka.

Film dokumenter drama berjudul "Taksaka" diproduksi Fasindo (Laboratorium Penerbitan dan Produksi Film) dengan para pemain kalangan seniman di daerah itu, juga menjadi patri atas kerajinan gerabah Klipoh dan kaitannya dengan relief gerabah di Candi Borobudur. Mura ikut bermain dalam film dokudrama tersebut.

"Film itu mengangkat relief Borobudur yang tidak banyak orang tahu, yaitu produksi gerabah zaman Syailendra dan sampai saat ini masih ada di Kampung Klipoh," kata penulis naskah dan asisten direktur produksi film pada 2017 itu, Tri Setyo "Gepeng" Nugroho.

Bahan baku berupa tanah yang cocok untuk produksi gerabah diakui seorang pembuat gerabah Klipoh yang juga Ketua Kelompok Kerajinan Gerabah "Bina Karya" Dusun Klipon, Supoyo (47). Anggota kelompoknya saat ini berjumlah 86 orang dengan sekitar 90 persennya kalangan perempuan. Saat ini, total jumlah warga Dusun Klipoh atau Dusun Banjaran I kurang lebih 200 kepala keluarga atau sekitar 600 jiwa.

Ia menyebut pembuat gerabah Klipoh saat ini yang umumnya berumur tertua sekitar 80 tahun, dan termuda 20 tahun, adalah generasi ke-10 pembuat gerabah setempat. Dua nama perempuan yang dianggap sebagai cikap bakal perajin gerabah desa itu  adalah Nyai Kundi dan Nyai Kalipah.

Nama Kundi kemudian dipercaya menjadi sebutan Dusun Gunden, sedangkan Kalipah menjadi Dusun Klipoh.

Saat ini tidak ada lagi warga Gunden menjadi perajin gerabah, sedangkan warga Klipoh masih turun temurun mewarisi kepandaian nenek moyangnya.

Untuk menandai cikal bakal desa gerabah, di kiri dan kanan jalan masuk Dusun Klipoh saat ini, ditempatkan dua patung perempuan dari tanah liat yang masing-masing membawa kendil.

Selain masih memproduksi piranti tradisional seperti cobek, kuali, blengker, kendil, keren, wajan, pengaron, dan padasan dengan harga bervariasi antara Rp5.000 hingga RpRp50.000 per barang, perajin gerabah Klipoh juga mengembangkan produk suvenir gerabah, seperti tempat lilin, tempat pensil, vas bunga, asbak, sentir, dan pot bunga dengan harga bervariasi antara Rp1.000 hingga Rp15.000 per barang.

Tentang sebagian besar perempuan menjadi perajin gerabah hingga saat ini, Mura menyebut sebagai misteri. Akan tetapi, Supoyo memperkirakan secara sederhana terkait dengan pembagian tugas sehari-hari kaum perempuan (istri) dan laki-laki (suami) pada masa lampau.

Para perempuan membuat gerabah, mulai proses pembuatan hingga pembakaran, sambil mengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki mencari dan mengangkut bahan baku gerabah serta melakukan penjualan ke berbagai pasar dengan dipikul atau menggunakan kuda.

Zaman dahulu, para lelaki membutuhkan waktu sampai lima hari berjalan kaki memikul gerabah untuk mencapai pasar-pasar sekitar Magelang, seperti Pasar Kaliangkrik, Bandongan, Windusari, Grabag, Secang, Kajoran, dan pasar-pasar lainnya di Kota Magelang.

"Dengan sendirinya yang di rumah para perempuan. Makanya mereka yang terampil dan telaten membuat gerabah sambil mengurus anak-anak dan rumah tangga," ujar Supoyo yang isterinya, Zumarah (47), dan kedua anak perempuannya, Khitun (27) dan Dwi Arum Sari (25) pun, mahir membuat gerabah.

Kepandaian membuat gerabah bagi perempuan setempat saat ini digambarkan Supoyo sebagai hadir dengan sendirinya karena lingkungan produsen gerabah masih hidup. Ia mencontohkan keponakannya yang saat ini kelas III Sekolah Dasar di desa setempat pun, sudah luwes membuat gerabah.

Dengan berbahasa Jawa, ia menyebut kepandaian mereka sebagai "Wis ketuntun dhewe. Ngelmune wis melu. (Dengan sendirinya dituntun pandai membuat gerabah. Ilmunya sudah mengikuti, red.)". Padahal tidak semua perajin gerabah Klipoh saat ini mengetahui kalau kepandaian mereka terpatri menjadi bagian dari relief Candi Borobudur.

Tempat usahanya yang juga mempekerjakan sejumlah perempuan setempat, sekarang telah berkembang menjadi tujuan wisata edukatif bagi para pelajar dari berbagai tempat. Sering kali rombongan pelajar bermain dan mempraktikkan membuat produk-produk gerabah di tempat itu dengan paket selama dua jam dan tarif Rp17.000 per orang.

Begitu pula dengan kalangan wisatawan nusantara dan mancanegara lainnya. Sudah tak terjumlah lagi mereka yang berkunjung ke Klipoh untuk mencoba membuat gerabah, dalam rangkaian agenda wisatanya.

Para tamu Sidang Umum Ke-35 ICW dan dan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia pun, terutama yang akan berkunjung ke Balkondes Karanganyar, juga dijadwalkan untuk praktik membuat gerabah.

Mereka menyusuri jejak kaumnya yang terpatri menjadi relief di lorong Candi Borobudur.

Pewarta: Hari Atmoko
Editor: Jaka Sugiyanta
Copyright © ANTARA 2018