Jakarta (ANTARA News) - Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Fiji untuk Indonesia Selima Dikawakawayali Veisamasama bersama belasan delegasi Dewan Perempuan Internasional (ICW) merumuskan strategi untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dalam sesi diskusi di Yogyakarta, Kamis.

Dalam sesi diskusi yang digelar selama satu jam, Selima menghimpun berbagai pengalaman dan pikiran yang dibagikan delegasi dari berbagai negara, di antaranya Indonesia, Afrika Selatan, India, Inggris, Australia, dan Taiwan. .

"Kekerasan terhadap perempuan hanya akan berhenti jika kita (para wanita) mulai berani memberdayakan diri sendiri, menguatkan saudari-saudari, hingga anak perempuan kita, bahwa perempuan harus mulai mempertahankan dan menghormati harkat dan martabat dirinya sendiri," kata Selima.

Ia menceritakan, kultur masyarakat Fiji cenderung merendahkan dan tidak memberi tempat untuk perempuan mengaktualisasikan dirinya di tengah masyarakat.

"Negara kami, Fiji, sangat patriarkis, tidak ada perempuan yang berbicara langsung berhadapan dengan laki-laki. Tempat perempuan adalah di belakang. Itu yang membuat perempuan jadi rendah diri, tetapi kita harus mulai sadar, wanita harus mengangkat martabat dirinya untuk menjadi berdaya," tambah Selima.

Selima menyoroti tradisi yang merendahkan perempuan kerap menjadi akar langgengnya kekerasan terhadap kaum hawa.

Namun, Dubes Fiji itu mengakui bahwa sebab kekerasan kerap berbeda di tiap negara.

"Walau demikian, kasus kekerasan ke perempuan seringkali menjadi sebuah siklus yang berulang," terang Selima.

Dalam kesempatan itu, salah satu delegasi dari Indonesia, Komisioner Komnas Perempuan Irawati Harsono mengusulkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat diatasi dengan membuat sistem penegakan hukum yang ramah terhadap kaum hawa.

"Selama ini kita banyak bicara dari sisi korban, itu bagus, tetapi masalah kekerasan terhadap perempuan harus dibahas secara berimbang. Kita juga harus melihat dari kacamata penegak hukum," kata Irawati saat ditemui selepas diskusi.

Dalam kesempatan itu, Irawati yang mengabdi menjadi anggota kepolisian selama 30 tahun, mengatakan perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan dapat ditempuh melalui pembentukan unit pelayanan perempuan dan anak di tubuh kepolisian.

"Usai kerusuhan 1998 di Jakarta, banyak perempuan jadi korban perkosaan dan pelecehan, tetapi banyak dari mereka memilih tidak melapor karena tidak menyelesaikan masalah. Tentu sebagai perempuan, saya geram, akhirnya saya pun mengumpulkan sembilan perempuan, anggota senior kepolisian, untuk membentuk sebuah lembaga non-pemerintah. Setelah lobi-lobi panjang dengan petinggi kepolisian, pada 2007 kami pun dapat meminta Polri membentuk unit pelayanan perempuan dan anak," terang Irawati.

Di samping penguatan sistem penegakan hukum, Wakil Presiden ICW dan delegasi tertua Elisabeth Newman mengatakan bahwa perempuan harus berdaya secara finansial agar dapat lepas dari ancaman kekerasan.

"Kekerasan terhadap perempuan juga kerap menyasar pada ketidakmampuan dirinya untuk berdaya secara finansial. Itu harus dipikirkan," kata Elisabeth dalam forum.

Forum diskusi "Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan" merupakan salah satu rangkaian acara yang digelar dalam Sidang Umum ke-35 ICW dan Temu Nasional 1.000 Organisasi Perempuan di Yogyakarta pada 13-20 September.

Acara tersebut diselenggarakan oleh Kongres Wanita Indonesia (Kowani) bekerja sama dengan Kementerian BUMN, dan didukung penuh oleh 35 perusahaan plat merah, diantaranya BNI, Telkom Indonesia, Waskita Karya, Garuda Indonesia, dan Perum LKBN Antara.

Rencananya, Presiden Joko Widodo akan membuka secara resmi acara Sidang Umum ke-35 ICW dan Temu Nasional 1.000 Organisasi Perempuan Indonesia di Pendopo Balkondes, Hotel Grand Inna, Yogyakarta, Jumat.

Baca juga: Peneliti: pencegahan kekerasan terhadap perempuan dimulai dari keluarga
Baca juga: Ratusan perempuan dari berbagai negara bahas penghentian kekerasan




(T. KR-GNT/

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2018