Anak-anak muda, yang juga disebut sebagai kawula generasi milenial, oleh beberapa kalangan dipandang kurang peduli pada perkara politik.

Berbagai testimoni, narasi singkat, yang dibeberkan di media sosial, baik sebagai parodi maupun pengalaman riil, menegaskan pandangan tentang sikap apolitis kaum milenial itu. Ini salah satu testimoni itu: Aku tak peduli pada copras-capres. Aku tak mau seperti orang tuaku yang tak bosan-bosan berdebat soal pilihan capres mereka. Mending nonton Youtube daripada dengar mereka.

Para pegiat politik tentu prihatin dengan sikap apolitik demikian. Mereka pun menggaungkan ajakan kepada kaum milenial untuk peduli pada politik, dan mempersuasi mereka untuk tidak menjadi golongan putih alias ogah mencoblos.

Kecenderungan kaum milenial kurang bergairah memedulikan, apalagi memasuki, dunia politik agaknya bukan fenomena khas anak muda di Tanah Air. Hampir di banyak negara gejala serupa terjadi dengan intensitas berbeda-beda. Faktor penyebabnya jelas: kehadiran dunia maya, teknologi digital dan hiburan yang menyertainya.

Anak-anak muda menikmati dunia baru, tantangan baru, dan kenyamanan baru yang dibawa oleh gelombang revolusi informatika. Berkutat menggeluti kerja kreatif, seperti membangun bisnis rintisan, mencipta karya-karya kreatif agaknya lebih menawan ketimbang masuk dalam hiruk pikuk perpolitikan, apalagi yang praktis.

Tentu jika semakin langka anak-anak muda yang peduli politik, yang dirugikan pada akhirnya mereka sendiri. Bagaimana itu bisa terjadi? Begini penjelasannya. Politik adalah perkara kekuasaan, perkara keadilan atau kesejahteraan yang merata.

Tentu kaitan-kaitan atau variabel yang menyertai perkara-perkara itu sangat banyak dan kompleks. Salah satunya adalah kebebasan arus informasi, yang tak lain juga diperkuat oleh kemajuan teknologi informasi. Namun, selalu ada kekuatan-kekuatan yang tak nyaman dengan lahirnya kemajuan ini. Tentu ketaknyamanan itu bukan diakibatkan oleh kemudahan yang lahir oleh kemajuan itu sendiri, tapi oleh dampak negatif yang bisa mengganggu mereka.

Kasus paling fenomenal adalah ketaksepahaman antara petinggi Google dengan penguasa China, yang berujung pada penghentian operasi perusahaan raksasa penyedia jasa internet itu di kawasan Tiongkok sejak beberapa tahun lalu.

Yang menarik dalam kasus di atas adalah bahwa penguasa China menyensor dan akhirnya menghentikan operasi Google dengan tujuan melindungi kepentingan rakyat dari pengaruh negatif yang diakibatkan oleh arus bebas informasi yang difasilitasi Google. Itu sebabnya, sebelum operasi Google untuk kawasan China benar-benar dihentikan, sebagaimana diklaim pihak Google, para peretas yang didukung pemerintah mengganggu sistem layanan internet perusahaan raksasa itu.

Betulkah klaim bahwa penghentian arus bebas informasi itu untuk kepentingan rayat? Menurut perspektif penguasa, di mana pun, pertanyaan itu akan memperoleh jawaban afirmatif. Tapi, kalangan aktivis politik independen akan mengatakan sebaliknya. Bahwa penguasa tak mau kehilangan kontrol atas informasi yang mengalir bebas di kalangan rakyat.

Rakyat yang dibiarkan bebas memperoleh informasi tentu bisa merongrong otoritas penguasa, terutama penguasa yang tiranik. Bahkan, arus informasi bebas pun juga bisa merongrong otoritas kalangan agamawan.

Kesadaran untuk mengendalikan informasi selalu dimiliki oleh penguasa mana pun. Penguasa selalu bernafsu untuk mempertahankan kekuasaan dan tak mau kekuasaannya dirongrong oleh kondisi kebebasan memperoleh informasi.

Dengan kebebasan mengakses informasi yang datangnya dari seluruh penjuru dunia, warga semakin kritis, dapat membandingkan kondisi hidupnya dengan kondisi hidup orang lain di negeri lain. Dengan pengetahuan ini, warga semakin banyak menuntut pemerintah. Tuntutan warga yang tak berkeputusan akan merepotkan pemerintah.

Pada konteks inilah kaum milenial di Tanah Air perlu disadarkan untuk peduli pada politik. Dengan peduli pada politik, mereka akan terlibat dalam perkara kekuasaan, keadilan, yang kehadirannya tak diperoleh dengan gratis tapi harus diperjuangkan dari saat ke saat.

Beberapa tahun lalu, ada lembaga keagamaan di Tanah Air yang mengutarakan semacam pernyataan yang dikalim sebagai pandangan teologis bahwa menggunakan media sosial, dalam hal ini Facebook, adalah haram.

Pengharaman ini tentu didasarkan pada banyak kasus-kasus negatif akibat penggunaan media sosial itu. Misalnya, dengan bermedsos terjadilah korban penipuan, pemerkosaan, perselingkuhan dan semacamnya. Sepintas argumen itu benar. Tapi, dengan melihat sisi negatif saja, tanpa melihat sisi positifnya, sama saja dengan memandang pisau semata-mata sebagai senjata untuk menikam orang.

Jika ditelaah lebih jauh, sisi positif media sosial itu tentu tak terhitung. Bisa untuk medium berdakwah, berbagi kebahagiaan, berkirim pesan perdamaian, menemukan kembali kerabat, saudara, teman yang lama tak bersua. Mencari jodoh juga dipermudah dan dipermurah lewat akun media sosial itu meski kadang-kadang ada juga sisi celakanya.

Semua perkara yang berhubungan dengan kemerdekaan mengakses informasi itu adalah persoalan esensial politik, yang mau tak mau harus dijadikan bagian penting perhatian kaum milenial. Sebelum atau menjelang reformasi, para mahasiswa begitu bergairah menjadi aktivis, termasuk di ranah politik, dan itu penting dalam melahirkan suasana yang lebih merdeka, demokratis dan adil.

Tentu saat ini tak sama dengan kondisi dua puluh tahun silam. Tak perlu lagi pemuda atau mahasiswa berjibaku melawan penguasa otokratik karena sekarang tak ada yang menindas kebebasan warga berekspresi. Sekali pun demikian, kepedulian anak muda pada politik tetaplah diperlukan. Setidaknya mereka perlu tahu siapa capres yang pantas dipilih dalam Pilpres 2019.

Baca juga: Cara generasi milenial terkenal lewat YouTube

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018