Yogyakarta (ANTARA News) - Perempuan bergaun putih itu melangkah dengan sigap mempersilakan Antara masuk ke ruangannya, cara bicaranya tegas namun sekaligus lembut dengan aksen Inggris dan Australia yang terdengar silih berganti saat Elisabeth Newman menjabarkan aspirasinya bagi pergerakan perempuan sedunia.

Ditemui di Hotel Grand Inna Malioboro Yogyakarta, Jumat (14/9), tempat Sidang Umum Dewan Perempuan Internasional (ICW) ke-35, Elisabeth juga menceritakan perjalanannya berkiprah di ICW, induk dari seluruh organisasi perempuan dunia. Kejernihan ingatan dan pikiran Elisabeth membuatnya jauh lebih muda dari usianya yang sudah 72 tahun, meskipun seluruh rambutnya telah memutih dan tubuhnya perlu ditopang tongkat jika perlu berjalan jauh.

"Perempuan harus bermanfaat bagi keluarga, lingkungan, masyarakat, tanpa melupakan dirinya sendiri. Sulit, kan?" kata dia membuka percakapan.

Kesulitan itu dialami Elisabeth di awal-awal perannya sebagai perempuan dewasa, saat dia telah menjadi ibu, namun juga ingin mengaktualisasikan dirinya dalam karier maupun organisasi kemasyarakatan.

Saat itu, Elisabeth berhenti bekerja setelah mengetahui ia hamil dan bertekad mendedikasikan hidupnya untuk anak dan keluarga. Meskipun bukan karena paksaan pasangannya, kondisi yang memaksanya untuk meninggalkan ranah publik ke domestik secara permanen.

Australia pada 1960'an belum seramah dan setara bagi kaum perempuan seperti saat ini, kata Elisabeth yang pindah dari Inggris ke Australia mengikuti pasangannya. Perbedaan upah antara perempuan dan laki-laki sangat jauh, belum ada cuti hamil dan melahirkan bagi pekerja perempuan, serta lingkungan kerja yang seksis, yakni perempuan ditempatkan pada bidang pekerjaan yang dianggap "cocok bagi perempuan", seperti adminitrasi atau pembukuan.

Australia baru menetapkan "Maternity Leave Act" atau cuti dengan gaji dibayar untuk keperluan hamil dan melahirkan selama 12 minggu pada 1973. Dalam perkembangannya, saat ini pemerintah Australia memberikan cuti hamil dan melahirkan dengan gaji dibayar selama 18 minggu.

Indonesia sendiri baru mengesahkannya 30 tahun kemudian melalui Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang memberikan cuti dengan gaji dibayarkan selama 12 bulan.

"Saya harus menunggu putriku masuk sekolah dasar untuk kembali bekerja, dan tentu saja saat itu sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan Anda kembali saat sudah menjadi ibu," kata Elisabeth.

Namun, kegelisahan Elisabeth akan aktualisasi diri membuatnya mulai aktif di organisasi di komunitas yang membawanya menjadi anggota Dewan Perempuan Negara Bagian Victoria pada 1976.

Dari Victoria, Elisabeth dipilih menjadi penasihat kesehatan di Dewan Perempuan Nasional Australia, dan aktif di berbagai jabatan kepengurusan hingga pada 1995 dia ditunjuk menjadi observer pada Sidang Umum ICW di Paris pada 1995.

Setelah malang-melintang selama lebih dari 40 tahun mengembangkan ICW untuk lebih maju dalam mengarusutamakan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan di seluruh dunia, Elisabeth memutuskan untuk mendaftar sebagai anggota seumur hidup ICW pada 1997, saat itu dia berusia 51 tahun.

Keinginan untuk tetap ingin aktif dan bermanfaat bagi orang lain meskipun sudah pensiun, menjadi alasan bagi Elisabeth untuk mendaftar sebagai anggota seumur hidup.

Menjadi anggota seumur hidup ICW tidak gratis, Elisabeth harus membayar 2 ribu euro untuk keanggotaanya. Penarikan biaya itu dilakukan ICW sebagai salah satu cara untuk menggalang donasi demi pembiayaan operasional organisasi.

Sebagai anggota seumur hidup, Elisabeth mendapakatkan hak istimewa untuk menjadi anggota dewan ICW yang membantu presiden ICW dan komite pengarah di setiap pertemuan internasional yang diselenggarakan ICW.

Saat ini Elisabeth menjadi wakil presiden ICW, bersama Christine Knock dari Selandia Baru, untuk membantu keketuaan Presiden ICW Jungsook Kim yang terpilih pada 2015.

"Sebagai komite pengarah, kami menyiapkan semua materi sidang umum, rancangan resolusi untuk berbagai isu yang menjadi perhatian ICW," kata dia.

Menjadi saksi perjalanan ICW selama lebih dari 50 tahun, Elisabeth merasakan berbagai perubahan dalam organisasi yang berafiliasi dengan Komisi untuk Status Perempuan (CSW) PBB tersebut, antara lain di sisi organisasi, ICW kini tidak memiliki sekretaris jenderal, yang perannya digantikan dewan ICW.

ICW juga mulai melakukan regenerasi kepengurusan dengan melibatkan perwakilan perempuan muda untuk menjaga keberlangsungan regenerasi.

Di sisi peregerakan perempuan, Elisabeth menilai perempuan masa kini dihadapkan pada tantangan yang lebih berat karena yang mereka hadapai sering tak kasat mata, dibandingkan di masa lalu, meskipun tentunya dunia saat ini jauh lebih ramah bagi perempuan.

Ketika perempuan berjuang mendapatkan upah yang setara dan hak untuk memilih pada lima puluh tahun lalu, kini perempuan bukan hanya harus menggunakan hak suara, tetapi juga untuk lebih terlibat ke dalam politik sebagai pengambil kebijakan.

Pembagian peran antara ayah dan ibu dalam mengurus anak-anak juga perlu diarusutamakan karena meskipun perempuan sudah lebih bebas bekerja di luar rumah, namun masih banyak terjadi mereka kembali menjadi pemegang kendali di rumah tangga.

"Ayah kembali menjadi seperti raja, dan menyerahkan semua tanggung jawab pengasuhan anak dan rumah tangga kepada ibu, kenapa?" kata dia.

Elisabeth mengatakan jawabannya adalah karena anak laki-laki belum dididik untuk menyadari posisi mereka setara dengan perempuan, tidak lebih tinggi dan tidak lebih kuat.

Ia mengakui proses itu tidak akan mudah, karena doktrinasi peran laki-laki dan perempuan yang berbeda telah mengakar kuat di seluruh dunia dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, pengertian kesetaraan gender perlu ditanamka sejak dini.

"Tapi kita harus memulainya, doktrinasi 'glass ceiling' (tak kasat mata) itu harus dihilangkan," kata dia.

Sidang Umum ICW ke-35 di Yogyakarta pada 13-18 September 2018 dengan agenda utama pemilihan dewan ICW dan adopsi tujuh resolusi yang diajukan komite pengarah, yakni peringatan bahaya internet bagi anak-anak, penghentian kekerasan pada lansia, tantangan dan pemberdayaan perempuan migran dari kawasan sub-Sahara, akses untuk pendidikan dan informasi tentang pelestarian lingkungan, ketersediaan air bersih, serta pemberantasan dan penghapusan segala bentuk kekerasan seksual.

Lantas, apakah resolusi ICW tersebut dapat mengatasi semua tantangan perempuan masa kini? Elisabeth menjawab tidak jika resolusi itu hanya berhenti di atas kertas tanpa ada kemauan dari semua pihak melaksanakannya.

Menjawab pertanyaannya sendiri di awal percakapan tentang multi-peran perempuan yang sukar dilakukan, Elisabeth menjawab ringan bahwa kunci untuk membuatnya lebih mudah adalah dengan terus bergerak.

"Lakukan saja, jangan berhenti. Kita perlu setengah abad untuk mendapatkan kesetaraan upah, dan mungkin lebih lama lagi untuk mewujudkan semua resolusi itu, tapi kita tidak pernah boleh berhenti," kata dia.

Pewarta: Azizah Fitriyanti
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2018