Yogyakarta (ANTARA News) - Ratusan perempuan dunia berkumpul di Yogyakarta selama 13-18 September, untuk membahas antara lain masalah kekerasan terhadap kaum hawa, dan ragam "senjata" yang dapat digunakan untuk mengatasinya.

Mencari "senjata" atau solusi tepat untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan ternyata tidak mudah karena akar masalahnya cukup kompleks.

Masalah kekerasan terhadap perempuan menjadi kompleks karena seringkali akar masalah melibatkan relasi domestik perempuan dengan suami, anak, dan keluarga, bahkan hingga ke persoalan tradisi.

Tidak hanya ranah "internal", lemahnya sistem penegakan hukum dan perlindungan juga ikut menyebabkan banyak pihak kesulitan mencari solusi yang menekan, apalagi memutus rantai kekerasan terhadap perempuan.

Alhasil, sebagaimana disampaikan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Fiji Selima Dikawakawayali Veisamasama di Yogyakarta, Kamis (13/9), kekerasan terhadap perempuan kerap menjadi suatu repertoar -- kerap dilakukan berulang.

Dalam sebuah lokakarya yang menjadi salah satu rangkaian Sidang Umum ke-35 ICW) di Yogyakarta, Dubes Selima menyampaikan, masalah kekerasan kerap dipicu dari tradisi atau kebiasaan hidup yang diturunkan antargenerasi.

Masyarakat Fiji, Selima menceritakan, merupakan salah satu contoh komunitas yang tidak memberi tempat bagi perempuan sebagai pembuat keputusan di ranah domestik.

"Hanya laki-laki yang punya kewenangan untuk berbicara di rumah, menyambut para tamu, sementara perempuan harus bersembunyi di belakang," kata Dubes Selima saat memandu lokakarya bertajuk Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan di Yogyakarta.

Tidak hanya di Fiji, banyak perempuan India ternyata juga mengalami masalah serupa. Bahkan di India, sejumlah tradisi dan ritual yang merendahkan martabat perempuan masih dipraktikkan, khususnya oleh mereka yang tinggal di daerah terpencil dan terpinggirkan.

Alhasil, isu kekerasan masih jadi musuh utama perempuan India, mulai dari anak-anak hingga wanita dewasa yang sudah menikah.

"Anak-anak terancam praktik pernikahan dini. Mereka dipaksa menikah, bahkan tidak sedikit anak-anak yang sudah menjadi janda," kata Anjana Kumari, delegasi dari India.

Dengan status janda, gadis-gadis itu harus menjalani kehidupan masa kecil penuh stigma "merendahkan" dari masyarakat.

Gadis janda (Child Widow) tidak hanya kesulitan mengaktualisasikan diri dengan menempuh pendidikan, atau berkarya di ruang publik, tetapi juga harus menjalani masa kecil penuh stigma dari masyarakat.

"Di beberapa desa, gadis-gadis kecil yang sudah berstatus janda harus menjalani ritual mengerikan seperti minum air basuhan kaki jasad suaminya, menjalani ritual khusus dengan pakaian tertentu yang membatasi ruang gerak mereka," tambahnya.



Berani berkata "tidak"

Keberanian untuk berkata "tidak" menjadi wujud bahwa perempuan harus bersikap kritis terhadap tradisi yang merendahkan dirinya.

"Pada saat perempuan berkata tidak, tandanya ia punya kendali terhadap dirinya dan hidupnya," tegas Anjana.

Akan tetapi, keberanian untuk berkata "tidak" menjadi tidak mudah, karena banyak perempuan yang merasa dependen dengan laki-laki.

Banyak istri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akhirnya tidak berani melapor, karena ia merasa bergantung secara sosial dan finansial dengan suaminya.

Dalam forum yang diadakan ICW di Yogyakarta, Anjana menceritakan pengalamannya mengadvokasi seorang istri di India.

"Sang istri ini menolak melaporkan suaminya, selain karena takut, juga merasa sangat bergantung dalam urusan nafkah," kata Anjana.

Namun, setelah dikuatkan dan didesak oleh perempuan satu desanya, sang istri ini mau melaporkan suaminya, hingga akhirnya ia dipenjara.

Selepas ke luar dari penjara, masalah baru muncul, sang suami mengajak kawannya melakukan apapun yang dapat menyakiti sang istri.

"Tentu kita tidak boleh takut dengan ancaman semacam itu, perempuan bisa melawan. Di kasus itu, wanita satu desa itu ternyata mau pasang badan melindungi sang istri. Saya tidak mengusulkan kita harus melawan kekerasan dengan kekerasan, tetapi makna dari sikap semacam ini, perempuan wajib punya kendali atas hidupnya," tegas Anjana.

Terkait dengan itu, Liany, delegasi asal Australia, mengatakan sesama perempuan punya kewajiban "tidak tertulis" untuk saling membantu sesama, apalagi jika "saudarinya" itu tengah dirundung kesulitan.

Ia menunjukkan bahwa salah satu senjata perempuan untuk melawan aksi kekerasan adalah semangat solidaritas dan persaudarian sesama kaum hawa.

"Saya sudah dua kali menyaksikan langsung kejadian seorang perempuan muda diintimidasi, disiksa secara fisik maupun verbal oleh pasangannya di ruang publik di ibukota" kata Liany.

Saat ia menemui insiden serupa untuk ketiga kalinya, Liany telah menyiapkan kartu nama bertuliskan kalimat "kamu dapat ke luar dari hubungan yang merusak, kamu tidak perlu bertahan".

"Saya mendekati perempuan muda yang baru saja diperlakukan kasar oleh pasangannya, dan menyelipkan kartu nama itu di kantong jaketnya. Dengan kartu nama, kita dapat mendekati langsung korban, tanpa harus membuat situasi lebih buruk, dibanding harus berbicara dengan pasangannya," tambah Liany.



Penegakan hukum berkeadilan gender



Dalam forum yang sama, delegasi asal Indonesia yang sempat menjabat Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Irawati Harsono menyampaikan perang terhadap kekerasan juga harus melibatkan polisi dan pihak laki-laki yang kerap berperan sebagai pelaku.

Irawati yang bertugas sebagai anggota kepolisian selama 30 tahun mengatakan, selama ini upaya mengatasi kekerasan sebagian besar dilakukan dari perspektif korban.

"Kita juga harus melihat dari perspektif penegakan hukumnya," kata Irawati kepada delegasi dari 49 negara.

Ia menceritakan pengalamannya mengadvokasi pembentukan unit pendampingan perempuan dan anak di tubuh kepolisian.

"Padai saat krisis pergantian kekuasaan pada 1998, banyak perempuan diperkosa dan dilecehkan. Namun, banyak dari mereka enggan melapor karena merasa tidak ada gunanya. Sebagai bagian dari kepolisian, saya merasa gemas," tutur Irawati.

Selepas pensiun, Irawati pun membentuk sebuah lembaga swadaya masyarakat, Derap Warapsari, bersama istri Kapolri Periode 1998-2000 Roesmanhadi, Pertiwi Roesmanhadi.

Keduanya banyak melobi petinggi kepolisian, hingga tidak hanya ruangan khusus yang disediakan tetapi unit khusus yang bertujuan melindungi perempuan dan anak pun dibentuk.

"Kami juga telah melatih anggota polisi di seluruh Indonesia untuk memahami masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak," tambahnya.

Di samping memperkuat penegak hukum, Irawati juga menyebut satu LSM yang misi khususnya adalah memberi konseling ke laki-laki agar tidak menjadi pelaku kekerasan.

"Nama LSM itu Rifka Annisa, saat ini banyak bergerak di Yogyakarta," tambahnya.

Pengalaman Irawati itu pun ditanggapi oleh Joan, delegasi asal Taiwan, China, yang mengaku, pemerintahnya telah membuat program pelatihan serupa.

"Pegawai negeri di Taiwan diwajibkan ikut seminar mencegah kekerasan di rumah tangga yang kerap mengorbankan perempuan dan anak," kata Joan.

Ia menjelaskan, di samping seminar dan pelatihan, pemerintah juga dapat berkontribusi dengan menyediakan hotline (nomor darurat) yang dapat dihubungi masyarakat, saat mereka terancam atau telah menjadi korban kekerasan dari pasangan, ayah, atau rekan kerjanya.

Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (UN Women) mencatat setidaknya 35 persen perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan, baik secara verbal maupun fisik.

UN Women juga mencatat, 70 persen perempuan di seluruh dunia telah menjadi korban kekerasan dari pasangannya.

Tidak hanya itu, sebanyak 750 juta gadis di bawah usia 18 tahun pun menjadi korban menikah paksa.

Artinya, kompleksnya akar masalah kekerasan terhadap perempuan juga harus diatasi dengan solusi yang tidak instan.

Perempuan dengan kapasitas dan kemampuannya harus mulai berani bertindak, menjadi inisiator, ataupun penggerak untuk mengubah sistem, bersikap kritis terhadap tradisi, dan yang paling penting berkata "tidak!" terhadap seluruh tindak penganiayaan.
 

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2018