Yogyakarta (ANTARA News) - Sekitar 160 perempuan dari 19 negara yang tergabung dalam Dewan Perempuan Internasional (ICW), berkumpul di Yogyakarta untuk melangsungkan sidang tiga tahunan.

Dalam sidang umum ke-35 itu, para delegasi selain memilih presiden dan dewan direksi yang baru, juga merumuskan sejumlah poin penting yang bertujuan memajukan kaum perempuan di seluruh dunia.

Bagi ICW, nasib perempuan di seluruh dunia belum semuanya sesuai harapan sehingga masih butuh banyak perjuangan, walau pun tempat asal mereka merupakan negara maju atau miskin sekali pun.

Perjuangan kaum perempuan seolah tak mengenal tempat dan waktu.

Ambil contoh di Rusia misalnya, salah satu negara adidaya yang jejak perkembangannya menjadi bagian pembentukan sejarah dunia.

Meski kiprah dan pengaruhnya telah malang melintang di dunia, namun kaum perempuan di negara yang dipimpin Vladimir Putin itu dirasa masih membutuhkan usaha lebih agar bisa lebih diperhatikan.

Saat ditemui Antara dalam sebuah kesempatan di agenda Sidang Umum ke-35 ICW di Yogyakarta, Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia Lyudmila Georgievna Vorobieva memaparkan situasi kaum perempuan di negaranya.
   
Menurut penjelasan Lyudmila, dalam 100 tahun terakhir negara yang menjadi "pewaris tahta" Uni Soviet itu mengalami gejolak besar yang berpengaruh pada kaum perempuan.
   
Perubahan besar pertama terjadi pada periode perang sipil pada 1920-an hingga Perang Dunia II 1940-an, di mana pergeseran pranata pemerintahan dari kekaisaran lalu menjelma jadi Uni Soviet, menyebabkan kehilangan sumber daya manusia yang begitu besar.
   
Pada masa perang sipil tahun 1917-1922, negeri Beruang Merah itu kehilangan sekitar delapan juta penduduknya.
   
Yang terbesar ialah saat Perang Dunia II, yang menyebabkan Uni Soviet harus kehilangan sekitar 27 juta warga negaranya yang mayoritas laki-laki.
   
Peristiwa tersebut memberikan dampak sangat besar kepada kaum perempuan, karena menyebabkan mereka harus ikut bekerja dan memainkan peran dalam kehidupan sehari-hari yang semestinya menjadi tanggung jawab laki-laki.
   
Meski memaksa perempuan untuk masuk dalam ranah pekerjaan berat, namun di sisi lain peristiwa tersebut menjadi titik balik fungsi dan peran perempuan.
   
Sejak saat itu peran perempuan secara perlahan mengalami peningkatan.
   
Puncaknya ialah saat muncul "Perestroika", sebuah gagasan revolusi politik dan ekonomi yang digagas Presiden Uni Soviet kala itu yaitu Mikhail Gorbachev pada tahun 1987.
   
Pada tahun 90-an situasi ekonomi sangat buruk, baik pria dan perempuan pun terimbas dengan perubahan yang terjadi kala itu.
   
Dengan dinamika yang terjadi di Rusia, kemudian muncul pandangan di masyarakat bahwa "Seorang perempuan harus lah kuat, bahkan harus sanggup masuk ke ruangan untuk berkelahi", tutur Lyudmila menceritakan.
   
Hingga sekarang di Rusia, persoalan latar belakang seseorang baik gender, etnis, maupun agama tidak pernah dipertanyakan di tingkat karir atau pemerintahan.
   
Meski demikian, Rusia masih menyisakan kendala terkait gender, tutur Dubes Lyudmila.
   
Masalah yang terjadi terkait kaum perempuan merupakan warisan dari era Uni Soviet, katanya.
   
Hal klasik yang masih dihadapi perempuan di Rusia salah satunya ialah pola pikir keluarga yang masih konservatif.
   
Laki-laki masih menjalankan peran utama dalam berkeluarga.
   
Kerja keras perempuan Rusia pun menampakkan hasil yang cukup menggembirakan di berbagai bidang.
   
Dia menyampaikan, berdasarkan sebuah laporan perusahaan riset internasional diketahui bahwa sekarang sekitar 47 persen manajer tinggi perusahaan di Rusia dijabat oleh perempuan.
    
Sekitar 45 persen pegawai negeri di kantor-kantor cabang juga diduduki oleh perempuan, empat gubernur, dan sekitar 42 persen akademisi bergelar doktor merupakan perempuan.
   
Oleh karena itu, tumbuhnya aktivitas profesional yang dilakoni perempuan merupakan terobosan positif, baik laki-laki dan perempuan Rusia sekarang akan bekerja sama untuk mencapai tujuan dan keuntungan bersama.

Baca juga: Komite Legislatif ICW rumuskan rencana aksi tiga tahunan

Beda Nasib
   
Berbeda dengan nasib perempuan Rusia yang telah membaik, hal sebaliknya terjadi di Nigeria.
   
Menurut delegasi dari Dewan Nasional Perhimpunan Perempuan Nigeria (NCWS) yang hadir dalam sidang umum ICW, tantangan besar masih terjadi di negara tersebut.
   
Misalnya masyarakat yang terusir dan tidak punya tempat tinggal yang umumnya merupakan anak perempuan, mereka kerap mengalami pemerkosaan.
   
Bahkan pada beberapa kasus yang ekstrim, yang menjadi pelaku pelecehan seksual justru anggota pihak keamanan Nigeria.
   
Ketidaksetaraan gender juga masih terjadi di Nigeria, salah satunya adalah persentase keterlibatan perempuan di tingkat parlemen dan pemerintahan.
   
Presiden NCWS Gloria Laraba Shoda mengatakan, politik inklusif di Nigeria menyebabkan jatuhnya jumlah perempuan yang aktif di pemerintahan, dari yang semula sekitar 11 persen menjadi hanya enam persen, dan kemungkinan hanya dua persen yang ada di parlemen, katanya.
   
Walau perjuangan masih membutuhkan usaha lebih keras, namun harapan untuk perbaikan nasib perempuan di Nigeria masih ada.
   
Gloria menuturkan, dukungan datang dari istri Presiden Nigeria yang tertarik dengan kegiatan dan program NCWS dan akan membantu dengan mencarikan donor bagi kelangsungan program NCWS.
   
Selain itu, NCWS juga berharap bisa menemukan ide-ide baru dari Sidang Umum ICW untuk diaplikasikan di negaranya yang tengah menghadapi konflik.
   
Terutama dari para dewan direksi ICW yang baru terpilih, Gloria berharap mereka bisa memberikan solusi terbaik bagi NCWS agar bisa memperjuangkan kaum perempuan di Nigeria.

Baca juga: Sidang Umum ICW beri ruang perempuan dalami masalah dunia

Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2018