Oleh A.A. Ariwibowo Jakarta (ANTARA News) - Seorang ibu akan langsung menutup mulut anaknya ketika buah hatinya itu mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh, misalnya "begundal", atau menyebut sesama temannya bermain sebagai binatang melata. "Jangan ulangi kata itu lagi, Nak," kata sang ibu singkat dan bernas. Lain halnya ketika seorang pemuda menyatakan bahwa cinta pertama tidak akan kunjung sirna, maka perempuan kekasihnya merespons dengan senyum di bibir, wajah kemerahan, dan kedua belah mata berbinar. "Aku ingin mendengar kata itu lagi darimu," kata perempuan kepada pasangannya itu. Baik ibu maupun sepasang kekasih itu melahirkan pembedaan antara orang yang bernalar logis dengan orang yang berpikir dialektis. Ibu langsung melarang anaknya agar tidak mengucapkan kata-kata yang tidak patut itu dan menjatuhkan pilihan pada "tidak" kepada kosa kata buah hatinya itu. Sedangkan, pria yang sedang kesengsem itu boleh jadi merayu, bukan mengungkapkan perasaan hati sesungguhnya. Pria ini sedang memainkan pola "ya" serentak "tidak". Orang yang hanya bernalar logis akan menjawab semua pertanyaan dengan "ya" dan "tidak", sedangkan orang yang bernalar dialektis sadar bahwa kadangkala sebuah pertanyaan perlu direspons baik dengan "ya" maupun "tidak". Kolumnis MAW Brouwer (alm) memiliki pengungkapan yang jenaka ketika menjelaskan perbedaan antara orang yang berpikir logis dengan dialektis. Ia menggunakan khasanah dunia percintaan di kalangan muda-mudi semasanya. Ia merangkum persoalan percintaan kala itu dengan mengajukan sejumlah pertanyaan antara lain, apakah memang benar cinta pertama tak kunjung sirna? Apakah berdosa mencium pacar ketika melakukan kencan? Dengan pengalamannya yang terbatas - karena memang ia seorang pastor- Brouwer yang juga seorang psikolog menjawab bahwa mengucapkan saja tidak lantas mendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Sebagai seorang yang pernah belajar filsafat, Brouwer memahami kredo bahwa "pikiran haruslah menjadi praktis". Di bawah bendera tuntutan untuk menjadikan pikiran agar menjadi praktis itulah, pemikir Tan Malaka coba mengajak masyarakat keluar dari kungkungan pola pemikiran serba mitos, dan memandang realitas sebagai sumber dari segala sumber. Lewat karyanya "Madilog", Tan Malaka menyarikan dialektika sebagai "cara berpikir yang berlainan", atau cara berpikir timbal balik. Bagi dia, semua masalah mempunyai dua sudut yang menurut pandangan yang tidak dialektis tampak saling bertentangan. Meski bagi pandangan dialektis sendiri, pertentangan atau konflik justru bahan bakar bagi kemajuan. Di dunia percintaan, konflik kerapkali menyuburkan perjalanan sepasang kekasih. Mereka belum cukup mengandalkan jargon "cinta pertama tak kunjung sirna". Mereka ingin cinta yang dibangun dapat juga memuat saling timbal balik. Ungkapan yang agaknya pas yakni "Merpati Tak Pernah Ingkar Janji". Dalam pembacaan guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Frans Magnis Suseno SJ, karya Madilog menyentuh sisi bahwa berpikir secara dialektis tidak boleh melepaskan logika. Logika sebagai tertib cara berpikir yang masuk akal masih tetap berlaku. Menurut pakar etika sosial itu, berpikir logis secara sederhana berarti bahwa persoalan pasti dijawab dengan pasti pula. Kalau pikiran harus menjadi praktis dan logis, maka adanya persoalan yang dialami masyarakat belakangan ini memerlukan jawaban pasti pula. Anggota masyarakat ingin tampil sebagai merpati yang selalu menepati janji. Lihat saja animo masyarakat ketika memberi sumbangan dana setelah melihat tayangan keprihatinan dari sesama saudaranya setanah air yang tertimpa musibah atau bencana. Ratusan juta terkumpul, ketika tayangan Republik Mimpi disiarkan oleh sebuah televisi swasta yang sebelumnya menampilkan kerusakan sejumlah sekolah di propinsi Jawa Barat. Publik tersentak oleh sihir "cinta pertama tak kunjung sirna" kemudian tindakan yang diambil mereka merogoh koceknya untuk memberi sumbangan yang digunakan bagi perbaikan dan pembangunan sekolah. Publik tersentuh sebuah dialektika, bahwa ratusan ribu ruang kelas nyatanya mengalami kerusakan. Tindakan yang diambil yakni langsung menyumbang, bukan justru menuding penyebabnya. Publik ingin keluar dari mitos dengan mengajukan jawaban yang pasti, bukan melempar wacana yang serba logis, meski hampa dalam kenyataan. Publik tersentak. Ratusan ribu ruang kelas, khususnya di sekolah dasar atau SD, kini dalam kondisi rusak berat. Data yang dihimpun pekan lalu dari sejumlah daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan saja menunjukkan setidaknya 88.000 ruang kelas dalam kondisi rusak. Di Jawa Barat, misalnya, terdapat 58.511 ruang kelas yang rusak dan perlu diperbaiki. Jika seluruhnya diperbaiki, setidaknya diperlukan biaya Rp 2,8 triliun. Di Jawa Tengah, kondisinya tidak jauh berbeda. Puluhan ribu ruang kelas dalam kondisi rusak. Di Kabupaten Pati, misalnya, 50 persen dari gedung SD yang jumlahnya 702 kini rusak berat. Jika satu sekolah terdiri enam kelas, ruang kelas yang rusak lebih dari 2.000. Kondisi yang hampir sama juga ditemukan di Brebes. Menurut harian Kompas, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng Gatot Bambang Hastowo yakin pada akhir tahun 2008 tidak akan ada lagi sekolah rusak. "Sekolah-sekolah yang rusak itu akan diperbaiki dengan dana 50 persen dari pusat, 30 persen dari provinsi, dan 20 persen pemerintah/kota," kata Gatot. Di Jawa Barat, umpamanya, tahun lalu, para bupati/wali kota bersama gubernur dan Menteri Pendidikan Nasional telah membuat nota kesepahaman pembagian peran (role sharing) dalam pembangunan sekolah. Dalam kesepakatan itu, pemerintah pusat akan menganggarkan Rp1,42 triliun, provinsi Rp851,6 miliar, dan kabupaten/kota Rp567,8 miliar. "Tapi sekitar dua bulan lalu kami mendapat kabar bahwa dana role sharing dari pusat belum jelas," kata anggota Komisi D Bidang Pendidikan DPRD Kabupaten Bandung, Dadang Rusdiana. Kabupaten Bandung merupakan kabupaten di Jabar dengan jumlah ruang rusak paling banyak, 6.285 ruang. Sementara itu, sedikit-dikitnya ada tiga kecamatan di wilayah selatan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yakni Serangbaru, Cibarusah, dan Bojong Mangu, mulai dilanda kekeringan. Kekeringan juga memaksa petani di Kecamatan Bojong Mangu memanen padi mereka lebih awal. Kekeringan juga terpantau di Desa Ridogalih, Kecamatan Cibarusah, dan Desa Nagasari, Kecamatan Serangbaru. Selain ketiga kecamatan di wilayah selatan itu, Kecamatan Babelan yang berada di wilayah utara Kabupaten Bekasi juga kekeringan. Sedangkan, PT Thames PAM Jaya (TPJ) mengumumkan adanya penurunan produksi air berkenaan dengan pekerjaan perbaikan penyaring air baku di Instalasi Produksi Air (IPA) Buaran. Ketika publik tersedak oleh soal kerusakan sekolah, kekeringan, dan ketiadaan fasilitas air bersih, maka yang dilakukan justru mempertahankan kredo bahwa "pikiran haruslah menjadi praktis". Menurut nalar publik, berpikir logis secara sederhana berarti bahwa persoalan pasti dijawab dengan pasti pula. Publik belum cukup kenyang dengan berbagai wacana yang "njlimet". Sementara elite terkesan asyik dengan istilah-istilah yang tidak membumi. Apakah memang publik perlu menempuh upaya memblokir jalan seperti dilakukan oleh warga empat desa di Kecamatan Parung Panjang dan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Mereka keluar dari pikiran yang tidak membebaskan untuk memilih langkah praktis. Aksi massa menjadi langkah praktis ketika logika kekuasaan tidak mampu menyejahterakan dan menyediakan fasilitas mendasar antara lain pendidikan, sarana air bersih, dan didera kekeringan. Publik ingin menjadi merpati yang setia pada janjinya. Publik ingin cintanya yang pertama tidak menemui kekecewaan menjadi kisah kasih tak sempurna. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007