kelemahan Permen KP NO 4 tahun 2015 adalah belum adanya sanksi.
Ambon  (ANTARA News) - Regulasi untuk pembatasan tangkap ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 714, yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 4 Tahun 2015, dinilai oleh banyak pihak masih lemah dari segi sanksi dan perlu ditinjau ulang.

Hal tersebut dibahas dalam kelompok diskusi terarah (FGD) "Pengelolaan Perikanan Tuna di Laut Banda" yang digelar oleh Pusat Unggulan Iptek Konservasi Sumberdaya Tuna (PUI KST)  Pusat Penelitian Laut Dalam - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2LD-LIPI) di Ambon, Senin.

"Salah satu kelemahan dalam penegakan Permen KP NO 4 tahun 2015 adalah belum adanya sanksi. Pelarangan harus disertai dengan adanya sanksi sehingga kita bisa bertindak," kata Kepala Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Zona Maritim Timur AKBP Julius Marlatu Aponno.

Ia mengatakan, tidak adanya kejelasan soal sanksi, membuat pihaknya seringkali kesulitan untuk bertindak dan memberikan penanganan hukum yang sesuai. Karena itu, ia menyarankan agar Permen KP NO 4 tahun 2015 ditinjau ulang.

"Akhirnya yang digunakan Undang-Undang (UU) lain untuk memberikan sanksi. Ini harus ditinjau lagi sehingga kami dapat melakukan penanganan hukum yang tepat," ucap Julius.

Belum jelasnya penegakan hukum terkait Permen KP No 4 Tahun 2015 tentang Larangan Penangkapan Ikan di WPP Negara Republik Indonesia 714, juga disampaikan oleh Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Hand Line Indonesia (AP2HI).

Menurut Robert Tjoanda dari AP2HI, hal itu juga berdampak pada industri perikanan. Ketidakjelasan peraturan tersebut membuat banyak pengusaha perikanan ragu untuk membuka usahanya di Maluku.

Ia mencontohkan, saat ini di Banda sedang dibangun pabrik perikanan, progresnya sudah mencapai 80 persen tapi pengusaha masih ragu untuk meneruskan pembangunan karena takut menyalahi aturan. Jika pabrik itu ditutup selama tiga bulan, maka pekerja kecil dan nelayan kecil yang akan terkena imbasnya.

"Ikan di laut Banda sangat banyak tapi musim tangkap sangatlah pendek, hanya satu sampai dua pekan, tidak cukup bagi para nelayan untuk beroperasi maksimal. Perlu ada kejelasan, ke depannya harus dibuat alternatif lain yang juga memikirkan nasib nelayan kecil," ucapnya.

Senada dengan AP2HI, Muhammad Bilahmar dari Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) mempertanyakan dasar penentuan wilayah tangkap ikan yang tertera dalam peraturan tersebut dan kejelasan soal kategori usia ikan yang boleh dan tidak bisa ditangkap.

"Persoalannya adalah apakah ikan ditangkap sesudah atau sebelum bertelur. Kalau ditangkap di luar area yang dilarang, sebelum memasuki Laut Banda, maka bisa jadi ikan ditangkap beserta telur-telurnya," ujarnya.  

Baca juga: Menteri Susi : penenggelaman kapal penegakan kedaulatan Indonesia
Baca juga: Pengamat: Izin kapal ikan asing harus dihentikan sama sekali


 

Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018