Beberapa pertimbangan pertumbuhan ekonomi tahun 2018 dan 2019 mendatang di antaranya ekspor dan investasi yang diproyeksi masih tumbuh bagus, sejalan dengan ekspansi ekonomi dunia. Konsumsi rumah tangga pun diproyeksi tumbuh relatif stabil atau sedik
Jakarta, (ANTARA News) - PT Danareksa (Persero) memprediksi ekonomi Indonesia pada akhir 2018 akan tumbuh antara 5,20-5,30 persen didorong konsumsi rumah tangga, peningkatan investasi dan ekspor.

Head of Economic Research Danareksa Research Institute, Damhuri Nasution dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa angka pertumbuhan itu masih lebih baik dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 di posisi 5,07 persen.

Sementara mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi pada semester pertama 2018 sebesar 5,17 persen ditopang peningkatan investasi dan ekspor.

"Beberapa pertimbangan pertumbuhan ekonomi tahun 2018 dan 2019 mendatang di antaranya ekspor dan investasi yang diproyeksi masih tumbuh bagus, sejalan dengan ekspansi ekonomi dunia. Konsumsi rumah tangga pun diproyeksi tumbuh relatif stabil atau sedikit membaik," papar Damhuri Nasution pada acara Economic & Market Outlook bertema "Perkembangan dan Prospek Makro Ekonomi serta Pasar Modal 2018-2019".

Untuk tahun 2019, lanjut dia, diprediksi sebesar 5,10-5,20 persen, dan tahun 2020 antara 5,30-5,40 persen dengan motor pertumbuhan ekonomi juga didorong konsumsi rumah tangga, peningkatan investasi dan ekspor.

Investasi, lanjut dia, diperkirakan tumbuh baik sejalan dengan pembangunan infrastruktur, peningkatan rating dan perbaikan iklim investasi. Adapun konsumsi pemerintah juga diproyeksikan relatif stabil seiring dengan upaya menyehatkan APBN.

Terkait dengan nilai tukar, Damhuri Nasution menegaskan rupiah saat ini masih mungkin bergejolak akibat normalisasi kebijakan moneter dan ekspansi fiskal Amerika Serikat, kekhawatiran atas perang dagang AS-Tiongkok, dan kenaikan harga minyak dunia karena geopolitik, yang dapat memperlebar defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).

"Nilai tukar rupiah masih mengalami tekanan di bawah nilai fundamentalnya karena faktor eksternal, tapi tekanan tersebut akan mulai mereda pada tahun 2019 dan 2020," paparnya.

Menurut dia, kebijakan moneter global masih cenderung ketat pada tahun depan dan mulai longgar pada tahun 2020, karena diperkirakan tekanan inflasi mereda dan pertumbuhan ekonomi mengalami moderasi.

"Dengan kenaikan suku bunga acuan AS, Fed Funds Rate (FFR) dua kali tahun 2019 yang berarti tidak seagresif tahun 2018, maka volatilitas pasar keuangan akan sedikit mereda," katanya.

Damhuri menilai Bank Indonesia sudah melakukan upaya yang tepat dalam meredam depresiasi rupiah, diantaranya menaikkan BI 7-Day yang diikuti kenaikan imbal hasil Surat Utang Negara (SUN), sehingga investasi di SUN cukup menarik.

Selain itu, lanjut dia, Bank Indonesia juga melakukan dual intervention demi menjaga volatilitas rupiah dan likuiditas dan sekaligus stabilisasi pasar SUN.

"Sehingga Danareksa perkirakan tekanan terhadap rupiah dapat mereda, untuk akhir tahun 2018. Rupiah sekitar Rp14.400, dan di tahun 2019 sekitar Rp14.300 per dolar AS," katanya.

Namun, ia mengingatkan tekanan yang perlu diantisipasi ialah risiko eksternal perang dagang AS-Tiongkok, perang mata uang, geopolitik yang kian memanas, ekspansi fiskal AS yang pro-siklikal, serta normalisasi kebijakan moneter bank sentral global.

"Untuk domestik, kepemilikan asing yang masih tinggi pada obligasi pemerintah tetap menjadi risiko. Kemarau panjang juga berpotensi menyebabkan kenaikan tekanan inflasi pangan. Terakhir Pilpres dan Pileg yang sejuk dan damai tentu menjadi harapan pelaku pasar, baik domestik maupun asing," kata Damhuri.
Baca juga: Darmin: pertumbuhan ekonomi 5,4 persen sulit tercapai
Baca juga: Menkeu perkirakan ekonomi tumbuh 5,14-5,21 persen

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2018