Jakarta (ANTARA News) - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan menyatakan vonis hakim terhadap mantan Ketua Badan Penyehatan Perbanlan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) menjadi parameter kepastian hukum di Indonesia.

"Majelis hakim harus mempertimbangkan aspek yang lebih luas mengingat kasus ini menjadi perhatian masyarakat khususnya dunia usaha," kata Fadhil di Jakarta Kamis.

Fadhil mengatakan tindakan SAT dalam rangka menjalankan keputusan politik pemerintah yang berusaha keras keluar dari krisis ekonomi melalui pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk kepastian hukum bagi pengusaha yang kooperatif dan memenuhi kewajiban.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan masih banyak obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hingga saat ini tidak koperatif dan menghindari kewajiban mereka.

Sementara itu, pemegang saham BDNI telah membayar kewajibannya sesuai skema "Master of Settlement and Acquisition Agreement" (MSAA) pada 1999.

Sesuai UU Nomor 25/2000, debitur BLBI yang telah menandatangani dan memenuhi MSAA diberikan jaminan kepastian hukum, yang kemudian disusul Inpres Nomor 2 Tahun 2002 mengenai debitur yang kooperatif akan diberikan kepastian hukum.

Sementara itu, Chairman InfoBank Institute, Eko B Supriyanto membeberkan sejumlah kejanggalan yang memperlihatkan kelemahan tuduhan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap SAT. 

Salah satu kejanggalannya yakni masalah audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai kerangka penyelesaian masalah BLBI-BDNI tersebut.

BPK telah mengaudit pada 2002 dan 2006 yang menunjukkan seluruh kewajiban Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham BDNI sudah dilunasi dan tidak ditemukan masalah.

Laporan Audit Investigatif BPK 2017 yang diminta KPK setelah SAT ditetapkan sebagai tersangka, menunjukkan hasil yang bertolak belakang dengan dua audit BPK sebelumnya, yaitu terdapat kerugian negara dalam penyelesaian BLBI-BDNI.

Audit investigatif tersebut tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur oleh BPK yaitu Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26. Sesuai dengan Pasal 6 ayat 5 UU BPK, suatu laporan audit harus memiliki pihak yang diperiksa (auditee) dan harus dikonfirmasi ke auditee-nya, serta harus menggunakan data primer.

Namun dalam Laporan Audit Investigatif BPK 2017 tersebut tidak ada auditee yang diperiksa, dengan sendirinya tidak pernah terkonfirmasi. Data yang digunakan bukan data primer, melainkan data sekunder.

Menurut rencana, majelis hakim Pengadilan Tipikor akan membacakan putusan terhadap SAT pada Senin (24/9).

Sebelumnya, JPU KPK menuntut SAT dengan hukuman penjara 15 tahun ditambah denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.

SAT diperkarakan KPK karena memberikan SKL kepada pemegang saham BDNI pada 2004 sehingga dianggap menyalahgunakan wewenang dan memperkaya orang lain dan korporasi.

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018