Jika 21 juta dolar AS dikali 120 hari sama dengan 2,5 miliar dolar AS. Angka ini bisa menutupi sebagian defisit. Apalagi jika pasar ekspor CPO bisa meningkat, maka neraca perdagangan justru berpeluang untuk surplus
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi VI DPR Erico Sotarduga mengatakan dalam kondisi seperti saat ini, pemerintah sebaiknya menghapus pungutan ekspor 50 dolar AS per ton minyak sawit dan 30 dolar AS per ton produk turunan ekspor guna mendorong terciptanya surplus perdagangan.

Menurut dia, di Jakarta, Jumat, dengan posisi harga CPO yang rendah saat ini, penghapusan pungutan ekspor berpotensi mendongkrak perluasan pasar ekspor karena posisi CPO dalam peta persaingan minyak nabati dunia semakin atraktif.

"Mau diadu dengan dengan minyak nabati manapun seperti kedelai dan biji bunga matahari, CPO sebenarnya tetap menjadi pilihan bagi banyak negara importir karena dari segi harga menarik serta Indonesia punya potensi komoditas yang tidak terbatas," katanya kepada media.

Saat ini, lanjutnya, potensi permintaan terutama Tiongkok diperkirakan naik 2 juta dari 3 juta menjadi 5 juta ton, belum lagi permintaan dari India dan pasar Afrika yang juga naik. "Kesempatan ini harus dimanfaatkan, karena berpotensi meminimalkan defisit perdagangan," katanya.

Erico menambahkan, dengan pemberlakukan B 20 pada sector non public service obligation (PSO) per 1 September 2018, Indonesia bisa menghemat 21 juta dolar.

"Jika 21 juta dolar AS dikali 120 hari sama dengan 2,5 miliar dolar AS. Angka ini bisa menutupi sebagian defisit. Apalagi jika pasar ekspor CPO bisa meningkat, maka neraca perdagangan justru berpeluang untuk surplus, katanya.

Bahkan, dalam rangka perluasan pasar ekspor, Indonesia dan Malaysia bisa melakukan kampanye global bersama terkait pemanfaatan biodiesel sebagai energi baru terbarukan yang ramah lingkungan. Dari sisi kesehatan juga perlu dikampanyekan sawit sebagai minyak sehat dengan kandungan omega 3, vitamin E dan vitamin K.

Sementara itu Firman Subagyo, mantan wakil ketua komisi IV mengingatkan, sepanjang sawit masih diandalkan sebagai penghasil devisa ekspor terbesar, pemerintah perlu menunjukkan komitmen serta keberpihakan melalui insentif serta berbagai regulasi yang mendukung peningkatan ekspor.

"Salah satu insentif yang bisa diberikan yakni berupa penundaan pemberlakukan pungutan ekspor 50 dolar AS per ton minyak sawit dan 30 dolar AS per ton produk turunan untuk mengurangi beban industri. Jika nilai tukar telah membaik, PE nantinya bisa diberlakukan kembali," katanya.

Menurut dia, persoalan terbesar dari penurunan harga CPO adalah kampanye anti sawit yang mendorong turunnya permintaan CPO.

"Jika pemerintah bersedia menunda pembelakukan pungutan ekspor untuk sementara waktu, paling tidak ekspor CPO bisa dipertahankan dan tekanan terhadap harga bisa berkurang. Dalam kisaran harga wajar sebenarnya impor CPO masih mempunyai imbas positif bagi penerimaan negara, terutama penerimaan devisa." katanya.

Pemerintah, lanjut Firman, harus menyadari bahwa pengurangan angka kemiskinan melalui pengembangan industri kelapa sawit merupakan strategi pembangunan yang sangat penting.

"Kita punya regulasi dan kebijakan untuk penurunan kemiskinan dan pengembangan area tertinggal dengan memprioritaskan pembangunan kualitas manusia, sebagai utama produktivitas, daya siang dan ekonomi domestik," ujar Firman.

Ketua Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Bungaran Saragih menyatakan, pemerintah perlu total mendukung industri sawit sebagai penghasil devisa terbesar Indonesia.

"Kalau mau fair, tidak ada komoditas di dunia dengan 43 persen masyarakat petani yang di dalamnya mampu menjadi pemain dunia. Saat ini, hanya sawit satu-satunya sebagai komoditas yang diandalkan Indonesia. Karena itu perlu dukungan pemerintah diantaranya melalui pemberian insentif," kata mantan Menteri Pertanian itu.

Baca juga: Tingkatkan devisa, Kemenperin pacu hilirisasi industri CPO
Baca juga: Mahathir: Malaysia-Indonesia harus tangkal tekanan Eropa soal minyak sawit

 

Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2018