Apa yang dituduhkan mereka berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan.  Sejak awal saya katakan, hati-hati memberikan pernyataan kalau tidak didukung fakta.
Jakarta  (ANTARA News) - Tim ilmuwan Universitas Sumatera Utara (USU) memastikan tidak ada ancaman lingkungan atas keberadaan PLTA Batangtoru di Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) karena keberadaannya di areal penggunaan lain (APL) dan jauh dari permukiman penduduk.

"Berdasarkan pengamatan langsung ke lapangan pada Kamis (20/9), proyek PLTA berada di kawasan Areal Peruntukan Lain (APL) dan sesuai RTRW Kabupaten," kata Rektor Universitas Sumatera Utara Prof Runtung Sitepu dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Sabtu. 

Kondisi lokasi di perbukitan dan permukaan tanah seperti kawah yang ada di sekitar rencana pembangunan bendungan. "Kondisi ini  justru   mengurangi luas areal yang tergenang," kata Runtung yang memimpin langsung tim ilmuwan USU ke lokasi proyek PLTA Batangtoru. 

Anggota rombongan lainnya, Ketua Majelis Wali Amanat USU Panusunan Pasaribu, Dekan Fakultas Kehutanan Siti Latifah, Dekan Fakultas Teknik Sri Maulina, dan sejumlah ilmuwan USU.

Runtung mengatakan, dalam kunjungan tersebut mereka bisa melihat langsung lokasi dataran yang akan difungsikan sebagai "power house" atau rumah pembangkit dan Sungai Batangtoru yang akan dijadikan kolam penampungan.

Berdasarkan amatan langsung itu, dia menyebut sama sekali tidak menemukan ancaman lingkungan seperti yang disampaikan sejumlah kalangan.

Sebelumnya, ada pernyataan bahwa proyek pembangkit listrik berkapasitas 510 MW ini  akan merusak kelestarian alam termasuk keberadaan orangutan, bahkan kolam penampung air akan menyebabkan sistem perairan tidak normal.

"Apa yang dituduhkan mereka berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan.  Sejak awal saya katakan, hati-hati memberikan pernyataan kalau tidak didukung fakta," ujar Runtung.

Berdasarkan temuan di lapangan, lokasi PLTA Batangtoru merupakan bekas lahan pertanian rakyat dengan status lahan APL, bukan kawasan hutan. Hal ini tidak hanya didukung data Pemkab Tapanuli Selatan, tapi juga didukung keberadaan beberapa tanaman, seperti karet dan lainnya. 

"Artinya memang sejak dulu ini bukan hutan, buktinya banyak tanaman keras yang ditanam penduduk," ucapnya.

Kekhawatiran PLTA akan merusak sistem perairan juga tidak ditemukan tim ilmuwan karena di dekat kolam penampungan air, masih ada enam anak sungai berukuran besar yang mengaliri air cukup deras. Runtung menilai kampanye negatif yang disampaikan itu cukup memprihatinkan karena telah mengabaikan unsur kebenaran. 

"Hal paling menyedihkan, disebutkan sawah-sawah di sekitar lokasi akan kering. Kenapa saya bilang menyedihkan, karena ternyata tidak ada satu pun sawah di sana," ujarnya.

Dijelaskannya, jarak kolam penampungan ke lokasi "power house" berkisar 12 kilometer. Dia memastikan sepanjang jalur itu tidak ada rumah penduduk maupun sawah.

 
Rektor Universitas Sumatera Utara Prof Runtung Sitepu (tengah berbaju pink) bersama Tim USU ketika kunjungan ke Sungai Batangtoru, Kamis (20/9/2018). Turut dalam tim Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu (no.10, kika), Bupati Tapsel Syahrul Pasaribu (11), Ketua Majelis Wali amanat USU Panusunan Pasaribu (13). (Foto, dokumentasi)



Kunjungan tim ilmuwan USU ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara USU, Pemkab Tapanuli Selatan dan PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), dua pekan lalu. 

USU berkomitmen memberikan masukan secara akademik agar proyek yang ditargetkan rampung tahun 2022 ini selesai tepat waktu. USU juga memanfaatkan kerja sama ini untuk meningkatkan kemampuan praktik kerja lapangan para mahasiswanya. 

Stop info sesat
Sebelumnya Ketua Komisi VII DPR RI Gus Irawan Pasaribu menyatakan, pembangunan pembangkit PLTA Batangtoru penting untuk memenuhi kebutuhan listrik di Sumut. Aspek energi baru dan terbarukan yang diusung pembangkit ini justru membuatnya semakin bagus karena ramah lingkungan.

Dia mengungkapkan keheranannya dengan kampanye sebagian aktivis lingkungan dan ilmuwan asing yang menyatakan PLTA Batangtoru tidak dibutuhkan karena pasokan listrik Sumut dalam kondisi surplus. Pernyataan ini disebut menyesatkan, sehingga harus diluruskan agar masyarakat tidak mendapat informasi yang salah. 

Surplus sebesar 160 MW yang dialami Sumut saat ini hanya bersifat sementara. Sumut akan kembali krisis listrik bila kontrak Marine Vessel Power Plant (MVPP), kapal pembangkit listrik yang disewa dari Turki, tidak diperpanjang pada tahun 2022.

"Kapal itu kan sifatnya bukan jangka panjang. Kita cuma mengontrak lima tahun dan biayanya mahal," kata Gus.

Gus cukup memahami latar belakang keberadaan kapal yang menyalurkan listrik 240 MW itu karena dia orang terdepan yang mendorong pemerintah mendatangkan kapal itu ke Belawan. 

Gus menuturkan, Dirut PLN sempat menentang usulannya ketika itu dengan alasan biaya yang terlalu mahal. Selain itu, kapal tersebut juga masih menggunakan bahan bakar batubara yang tidak ramah lingkungan. "Jadi PLTA Batangtoru ini memang proyek paling strategis karena menggunakan tenaga air dan paling ramah lingkungan," katanya. 

Sebelumnya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) meminta pemerintah menunda proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru yang berada di habitat Orangutan Tapanuli, Sumatera Utara, bahkan pembatalan pembangunan.

Di samping alasan kurs rupiah yang melemah, juga karena mengancam keberadaan spesies orangutan Tapanuli yang bisa punah. 

Baca juga: KLHK perkuat konservasi orangutan di Batang Toru
Baca juga: Pembangkit listrik EBT jadi solusi perubahan iklim



 

Pewarta: Erafzon Saptiyulda AS
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018