Jakarta  (ANTARA News) - Kondisi populasi badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) terus menurun selama beberapa dekade dan memaksa seluruh pihak terkait mengambil langkah nyata diawali dengan membuat Rencana Aksi Darurat (Emergency Action Plan/EAP).

Bertepatan dengan peringatan Hari Badak Sedunia yang jatuh pada 22 September 2018, Direktur Tropical Forest Conservation Action-Sumatra (TFCA-Sumatra) Samedi di Jakarta, Sabtu, mengatakan para ilmuwan, pemerintah pusat dan daerah, Unit Pelaksana Teknis (UPT), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta pemangku kepentingan lain perlu segera melakukan tindakan penyelamatan yang didasarkan pada suatu dokumen legal EAP badak bercula dua.

Keadaan Dicerorhinus sumatrensis di Indonesia saat ini sangat mirip dengan situasi di Malaysia sekitar 30 tahun yang lalu. Semua pihak sepakat bahwa badak Sumatera saat ini berada dalam kondisi darurat.

Kini, badak Sumatera di Malaysia tinggal dua ekor, itupun berada di luar habitatnya. Para ahli badak tak ingin pengalaman Malaysia terulang di Indonesia, terlebih jumlah badak di habitat alam kurang dari 100 individu.

Keberadaan satwa langka ini sangat terancam oleh perburuan, penyempitan dan fragmentasi habitat. Populasi badak terisolasi dan tersebar dalam kantong-kantong dengan jumlah individu yang sangat sedikit.

Hal ini juga berdampak pada menurunnya laju perkembangbiakan badak. Secara biologis badak Sumatera mempunyai tingkat reproduksi yang rendah, karena siklus kawinnya (masa subur/estrus) badak betina hanya setiap satu setengah tahun dan masing-masing hanya terjadi selama empat hari.

Belum lagi acanaman patologi reproduksi sebagaimana ditemukan pada badak-badak betina yang berada di dalam Suaka Rhino Sumatera (SRS) Taman Nasional Way Kambas, Lampung dan Malaysia. 

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dna Kehutanan (KLHK) Indra Eksploitasia mengatakan EAP ini sangat penting dengan tujuan jangka pendek yaitu menghasilkan anakan badak sebanyak-banyaknya untuk dapat dikembalikan lagi ke habitat alamnya.

Oleh karena itu, EAP ini harus disinergikan dan dapat diterjemahkan ke dalam penataan ruang daerah serta sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang maupun Menengah pemerintah daerah, ujar Indra.

Pilihan aksi

Ada dua pilihan aksi darurat yang didorong oleh EAP. Pertama, jika jumlah individu  kurang dari 15 ekor per kantong populasi dan lokasinya terisolasi, maka diperlukan aksi darurat berupa penyelamatan (rescue) individu untuk dikonsolidasikan ke dalam suaka perlindungan badak Sumatera.

Kedua, bagi kantong populasi yang memiliki jumlah badak lebih dari 15 ekor namun terancam oleh hilangnya habitat dan perburuan, maka dilakukan aksi darurat berupa proteksi intensif. Ukuran 15 individu diperoleh dari kesepakatan para ahli badak dalam berbagai pertemuan nasional maupun internasional.

Mengenai mekanisme tindakan darurat tersebut, pemerintah daerah dan UPT mendukung  langkah yang akan diambil dalam EAP. Bahkan Kepala BKSDA Aceh Sapto mengatakan siap bila memang harus membangun suaka badak Sumatera di wilayah Aceh untuk menyelamatkan badak-badak yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser.

"Jika memang SRS akan dibuat, sebaiknya lokasinya tidak keluar dari daerah asal badak Sumatera," tambah Sapto.

Sebelumnya, TFCA-Sumatera telah memberikan pendanaan untuk penyusunan dokumen EAP 2018-2021. Berbagai upaya perlindungan kawasan dan pengamanan spesies ini juga terus didukung di tiga bentang alam di Sumatera yaitu di Kawasan Ekosistem Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Way Kambas yang diketahui merupakan rumah bagi badak sumatra yang tinggal saat ini.

Baca juga: Zona jelajah badak sumatera diduga tidak aman
Baca juga: Penangkaran badak sumatera Way Kambas boleh dikunjungi


 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018