Saat ini energi solar menjadi sumber pasokan tenaga bagi pesawat luar angkasa. Tingkat efisiensi dari sel solar telah berkembang dengan sangat cepat dan mampu memasok listrik bagi orbit terdekat dengan bumi serta perlengkapan satelit. Tapi, proyek skala besar semacam ini sebagaimana halnya misi eksplorasi Bulan atau misi pendaratan manusia di Mars tetap membutuhkan pembangkit tenaga nuklir. Pembangkit ini pastinya tidak akan bergantung pada sinar matahari. Ia akan dapat menyediakan pasokan energi tidak hanya untuk mendukung kehidupan dan beroperasinya peralatan, tapi juga untuk menjalankan mesin roket nuklir dan elektrik. Perkiraan yang dibuat para peneliti selama beberapa tahun belakangan ini menunjukkan bahwa tenaga nuklir, jika digunakan bagi keperluan perjalanan luar angkasa jarak jauh, akan menghemat sejumlah besar dana dan memperpendek waktu perjalanan antar planet. Dalam misi Mars, mesin bertenaga nuklir akan menghemat waktu penerbangan hingga dua pertiga dibandingkan dengan mesin jet yang menggunakan bahan bakar kimia. Pembangkit tenaga nuklir dapat digunakan tidak hanya sebagai sumber listrik, tapi juga sumber panas untuk mendukung aktivitas kehidupan di luar bumi. Rusia dan AS telah meletakkan dasar-dasar yang cukup baik bagi kemajuan di bidang ini. Tapi, Rusia tetap memimpin dalam beberapa hal seperti teknologi suhu maksimum hidrogen dan alat pendorong khusus. Faktanya, Rusia adalah satu-satunya negara di dunia yang dapat menguasai teknologi pembangunan pembangkit tenaga nuklir bagi pesawat luar angkasa. AS hanya sekali melakukan uji coba atas reaktor nuklir seperti milik Soviet, Topaz, pada 1965. Reaktor itu hanya berumur 43 hari, dan satelit yang dipasangi reaktor ini masih berada pada orbitnya menjadi sampah luar angkasa. Rusia telah meluncurkan sekitar 40 pesawat luar angkasa dengan pembangkit tenaga nuklir di dalamnya. Kebanyakan digunakan bagi keperluan mata-mata dan, sekali diaktifkan, akan berada di orbit rendah bumi untuk beberapa bulan. Topaz-II memiliki kapasitas sebesar 10 kW. Bandingkan dengan 120 watt yang dihasilkan dari satu meter persegi sel solar, yang nota bene merupakan sumber tenaga utama bagi pesawat luar angkasa. Patut diperhatikan, semakin jauh dari matahari maka semakin rendah tingkat efisiensi dari baterai ini. Para ahli Rusia telah merancang serangkaian konsep pembangkit tenaga nuklir dengan kapasitas terpasang sebesar 25 kilo watt. Pesawat luar angkasa yang dicangkokkan pembangkit ini akan ditujukan bagi keperluan observasi bumi dan akan segera memasuki era baru dalam penyediaan informasi bagi penduduk bumi dan pihak militer. Ukuran pembangkit tenaga nuklir lebih kecil dibandingkan sel solar, membuatnya lebih mudah untuk diarahkan dan menyesuaikan dengan pesawat luar angkasa, khususnya ketika tingkat akurasi yang tinggi dibutuhkan. Pembangkit tenaga nuklir telah diakui keandalannya, terutama dampaknya terhadap lingkungan. Jika dibandingkan, beratnya termasuk cukup ringan terhadap rasio daya angkut pesawat. Berapapun daya angkutnya, pembangkit tenaga nuklir ini tetap akan lebih ringan dibandingkan sel solar. Sebuah pembangkit dengan kapasitas 50 kW atau maksimal 100 kW lebih akan dapat membantu pengembangan satelit multi fungsi dan pesawat luar angkasa pembawa radar dari generasi terbaru untuk memonitor target darat dan udara dari orbit geostasioner dan geosinkronusnya. Di masa lalu, penelitian dan pengembangan pembangkit tenaga nuklir berbasis luar angkasa dilakukan baik oleh Rusia maupun AS untuk pertimbangan keamanan radiasi. Kini, energi nuklir semakin dapat diandalkan dan sudah memasuki era baru. Energi ini dihadapkan dengan cita-cita ambisius konsumsi energi. Dengan dana yang cukup, manusia tidak hanya akan dapat mengirim manusia ke Mars, tapi juga memulai era penggunaan luar angkasa bagi tujuan komersil dengan membangun pangkalan di bulan. Tenaga nuklir dapat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kemampuan pesawat luar angkasa. Uni Soviet (kini Rusia) untuk pertama kali telah mengembangkan mesin bertenaga nuklir bagi keperluan pesawat luar angkasa pada era 1960-an. Sejak tahun 1970, negara tersebut telah meluncurkan lebih dari 30 satelit radar militer yang dilengkapi dengan Buk, mesin yang mampu menghasilkan listrik hingga 3 kW. Pada tahun 1987-1988, sebuah Topol (Topaz), dengan kemampuan menghasilkan tenaga setara 6 kW, berhasil melalui uji coba. Sebagian tenaga yang dihasilkan disalurkan bagi mesin jet, membuat pendorong jet nuklir menjadi kenyataan untuk kali pertama. Yenisei (Topaz-2) juga menjalani semua uji coba tersebut. Segala upaya dilakukan untuk membangun generator bertenaga nuklir dengan variasi daya yang berbeda-bedar dari beberapa kW hingga puluhan kW, termasuk juga alat pengubah energi. Tapi, pada 1990, Rusia menghentikan semua pekerjaan yang menyangkut pesawat luar angkasa nuklir akibat kehancuran ekonomi yang melanda negara itu. Hal ini membuat para ahli membutuhkan setidaknya sepuluh tahun untuk menyadari bahwa keputusan mereka telah membawa negara mereka ke dalam resiko besar dan dapat menjadi ancaman bagi keamanan. Pada 1999, program khusus diadopsi untuk mengembangkan teknologi dasar bagi pesawat luar angkasa khususnya sumber tenaga dan pendorong. Program ini ditujukan untuk meningkatkan pertahanan Negara, kemampuan ilmu pengetahuan dan ekonomi, serta memberikan prioritas bagi sektor pertahanan. Satu tugas yang paling berat saat ini adalah pengamatan wilayah luas sepanjang waktu. Pengawasan semacam ini sebaiknya dilakukan dari orbit geostasioner. Tapi kebutuhan tenaganya cukup luar biasa (45-50 kW) dan berat dari pesawatnya sangat besar (9-10 ton) sehingga roket kelas berat semacam Angara belum tentu mampu menempatkan pesawat pengangkut masuk kedalam orbit. Modul pembawa energi dengan memanfaatkan tenaga nuklir dapat menjadi solusi. Alat ini dapat membantu menempatkan pesawat pada orbit dan memasok tenaga bagi sistem yang ada. Tenaga nuklir juga dapat menyesuaikan misi-misi berkarakter khusus. Mesin jet listrik-Nuklir akan memungkinkan dilakukannya stasiun antar planet untuk mengamati tubuh sistem tata surya dari titik yang berbeda. Mesin semacam ini akan mempercepat waktu perjalanan dan mengurangi waktu pengiriman. Mesin ini juga akan memperkuat penerbangan, program terbang yang membutuhkan manuver gravitasi, memperpendek periode perjalanan, dan memperlebar "jendela peluncuran." Wilayah lain yang dapat digarap yaitu pembangkit energi berbasis planet. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ekspedisi pertama menuju Mars akan membutuhkan sekitar 50-100 kW energi untuk berjalannya semua tugas di permukaan planet. Para teknisi Rusia telah merancang serangkaian pembangkit energi berbasis planet tersebut, menggunakan reaktor pemindah thermo-emissive atau reactor lithium berpendingin dengan pemindah energi turbin. Kita juga dapat membayangkan pembuatan khusus bagi mesin roket nuklir bagi pengguanaan kembali pendorong bulan. Dalam sekali jalan, dengan menggunakan mesin semacam itu, pendorong ini dapat mengirimkan hingga 10 ton angkutan menuji permukaan bulan. Ini akan cukup tidak hanya bagi pembangunan pangkalan berpenghuni permanen, tapi juga untuk mengirimkan perlengkapan bagi produksi oksigen bulan. Serangkaian generator nuklir dari pesawat bulan dapat digunakan sebagai alat pendorong bagi kendaraan penjelajah Mars. Ekspedisi Martian juga akan mendapat keuntungan dari pendorong bertenaga nuklir dan sistem penghasil tenaga yang mampu memasok hingga 25 kW pendorong. Semakin banyak negara yang menunjukkan ketertarikan atas pembangkit tenaga nuklir kecil bagi keperluan proyek luar angkasa. Uni Eropa dan China secara khusus tertarik untuk mendapatkan teknologi nuklir luar angkasa. Yang juga penting adalah fakta di mana sudah terdapat sejumlah masalah dalam eksplorasi luar angkasa yang tidak mungkin dipecahkan tanpa teknologi nuklir.(*)

Pewarta: Oleh Yury Zaitsev, RIA Novost
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007