investasi memang hanya menghasilkan dua hal yaitu untung dan rugi,  jika rugi namun sesuai prosedur, sehingga hal tersebut bukan penyelewengan yang disengaja
Jakarta,  (ANTARA News)  -  Kejaksaan Agung melalui Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus), Senin pagi (24/9) resmi menahan mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Galaila Agustiawan, tersangka dugaan korupsi  investasi perusahaan tersebut di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009. 

Karen Galaila yang sebelumnya menjalani pemeriksaan, ditetapkan sebagai tersangka melalui Surat Perintah Penetapan Tersangka Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Tap-13/F.2/Fd.1/03/2018 tanggal 22 Maret 2018 dan pencekalannya berlangsung selama enam bulan.
 
Pengamat energi Komaidi Notonegoro menilai kasus yang menimpa mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan tidak mempengaruhi aksi koorporasi PT Pertamina dalam mengembangkan bisnis. 

"Jangan sampai kemudian takut melakukan aksi koorporasi,  itu malah membuat perusahaan tidak berkembang, " kata Direktur Reforminer Komaidi Notonegoro kepada Antara News di Jakarta,  Rabu. 

Komaidi menyebutkan bahwa investasi itu memang hanya menghasilkan dua hal yaitu untung dan rugi,  jika rugi namun sesuai prosedur, menurutnya hal tersebut bukan penyelewengan yang disengaja. 

"Kalau kasus Mantan Dirut Pertamina Karen,  saya kurang paham mikro kasusnya,  namun jika memang sesuai prosedur ya harusnya bukan kesengajaan dalam merugikan negara, " katanya.

Oleh karena itu,  ia mengatakan harus dipelajari lebih lanjut dalam tindakan Karen yang dinilai merugikan negara." Kenapa kasus pidana,  kenapa bukan perdata,  nah hal itu mungkin ada bukti pelanggaran perusahaan mengingat Pertamina menggunakan dana negara, " katanya. 

Capaian Galaila Karen Agustiawan di PT Pertamina dinilai Komaidi cukup bagus,  karena pada kepemimpinannya mampu meningkatkan produksi minyak Pertamina. 

Karen menduduki Direktur Utama Pertamina pada periode 2009-2014. Prestasinya tercatat pada tahun 2011, yaitu  Forbes memasukkan dia sebagai yang pertama di dalam daftar Asia's 50 Power Businesswomen

Karen juga tercatat sebagai direktur utama wanita pertama di Pertamina, ia menjadi guru besar di Harvard UniversityBostonAmerika Serikat,  setelah mengundurkan diri dari Peetamina. 

Wanita kelahiran Bandung,  Jawa Barat ini, lulus dari Teknik Fisika ITB pada 1983 silam. Perjalanan karirnya dimulai dari perusahaan minyak Mobil Oil Indonesia hingga 1996 atau ketika perusahaan tersebut diakuisisi oleh Exxon Mobil. 

Beberapa hal capaian positif berhasil diraih,  data yang dihimpun Antara,  ada peningkatan lifting minyak mentah di PT Pertamina ketika dipimpin, ia juga membawa misi pribadi yaitu,  menjadikan Pertamina menjadi perusahaan energi kelas dunia pada 2025 nanti melalui program Energizing Asia. 

Diinformasikan Karen  juga merintis upaya kerja sama dengan PT PLN untuk pemakaian bio-etanol sebagai pengganti solar.

Namun,  Karen juga dinilai membawa keputusan yang kurang tepat dalam menjalankan nahkoda Pertamina. 


Awal Kasus

Kasus ini berawal dari ketika Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan akuisisi saham sebesar 10 persen terhadap ROC Oil Ltd untuk menggarap Blok BMG.

Proses akuisisi bisnis tersebut ditandai dengan perjanjian terhadap ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase - BMG Project yang diteken pada 27 Mei 2009. Nilai transaksinya mencapai 31 juta dolar.

Dampak dari proses akuisisi itu, Pertamina tercatat harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar 26 juta dolar AS. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp 568 miliar itu, Pertamina awalnya memiliki target harapan agar Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga 812 barrel per hari.

Namun nyatanya, Blok BMG yang diteken tersebut hanya bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari,  jauh dari target yang diharapkan. Pada 5 November 2010, akhirnya Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah dengan alasan adalah blok ini tidak ekonomis jika diteruskan produksi.

Dari aksi koorporat yang dilakukan tersebut,  didapat simpulan bahwa investasi yang sudah dilakukan Pertamina akhirnya tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.

Akhirnya,  hasil penyidikan Kejaksaan Agung (Kejagung)  menemukan dugaan penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. 

Pengambilan keputusan investasi diduga tanpa adanya dukungan feasibility study atau kajian kelayakan hingga tahap final due dilligence atau kajian lengkap mutakhir. 

Diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan Dewan Komisaris.

Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara dari Pertamina sebesar 31 juta dolar As dan  26 juta As atau setara Rp 568 miliar. Alhasil,  Kejagung menetapkan Karen sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi penyalahgunaan investasi Pertamina di Blok Manta Gummy Australia pada 2009 dan ditahan di Rutan Pondok Bambu pada Senin 24/9.

Sementara itu,  Pengacara mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan, Susilo Aribowo, mengatakan kliennya tidak punya niat untuk korupsi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pada investasi Pertamina di Blok Buster Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009.
   
Ia berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana mesti ada niat jahatnya, tapi sampai sejauh ini tidak ada sesuatu yang diperoleh Karen Agustiawan dari investasi itu.
   
"Sebenarnya ini lebih ke 'business judgement rule' bukan ke tindak pidana. Apakah kerugian negara akibat investasi macam ini masuk kategori korupsi ya nanti dulu," tambah Susilo.
   
Karen telah ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan investasi Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009 oleh Kejaksaan Agung sejak 4 April 2018. Kejaksaan menaksir investasi itu merugikan keuangan negara hingga Rp568 miliar.
   
"Kita harus lihat anggaran dasar Pertamina memang agak unik, spesifik, terkait dengan investasi partisipasi 'interest' itu ya semacam investasi saham ada persyaratannya. Pertama ada persetujuan komisaris, ada 'feasibility study', semua sudah dilakukan. Kemudian persetujuan komisaris juga sudah didapat 30 April 2009, kemudian 27 Mei 2009 tanda tangan jual beli 'participating interest' itu," jelas sang pengacara.
   
Menurut dia, pada 27 Mei 2009 itu juga hanya berselisih beberapa jam direksi menerima pemberitahuan bahwa komisaris tidak setuju. "Ini khan aneh, tidak bisa dicabut mendadak begitu saja," ungkap dia.
   
Persoalan kedua, menurut dia, investasi itu untuk sumur minyak yang belum tentu menghasilkan. "Kita menginvestasi sumur tidak bisa menjamin isinya minyak atau tidak, yang jeblok juga banyak. Ini jadi risiko korporasi, seharusnya kalau memang dewan komisaris keberatan dan sudah telanjur mestinya berikan solusi atau berhentikan sementara direksi itu. Tapi kenyataannya tidak, justru diminta divestasi, itu yang agak aneh," kata dia.
   
Ia mengaku ingin mengajukan penangguhan penahanan untuk kliennya, tapi mengenai pengajuan praperadilan ia belum memutuskannya.
   
"Kalau ada peluang tentang penangguhan penahanan akan kita lakukan, untuk praperadilan nanti kita akan diskusi karena kita harus pertimbangkan plus minusnya kita belum tahu kita. Jangan-jangan malah tambah sprindik (surat perintah penyidikan) baru," kata dia.
   
Selain Agustiawan, dalam kasus ini penyidik juga telah menetapkan Chief Legal Councel and Compliance PT Pertamina, Genades Panjaitan, dan Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero), Frederik Siahaan. Mereka bertiga juga sudah dicegah bepergian ke luar negeri sejak 22 Maret 2018.
   
Sementara, mantan Manager Merger dan Investasi (MNA) pada Direktorat Hulu PT Pertamina, Bayu Kristanto, sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan selama 20 hari oleh tim penyidik.

Baca juga: Pengacara katakan tidak ada niat Karen Agustiawan korupsi

Baca juga: Karen mengaku jalankan prosedur terkait investasi Pertamina


 

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2018