Para pemain mesti dihargai dan tak layak dikomentari buruk sejelek apapun mereka bermain
Jakarta (ANTARA News) - Kalau sepak bola Indonesia diibaratkan sebuah lagu, maka lagu itu diharapkan selalu mengalun dengan indah dan melekat erat di benak masyarakat.

Sayangnya, kumpulan nada-nada itu tak jua berujung pada satu tembang yang megah. Alih-alih dinikmati, beberapa kali lagu itu mendapatkan celaan karena tidak selaras.

Sebagai pencipta lagu tersebut, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) bukannya tak menyadari pro-kontra para pendengar yang semuanya pencinta sepak bola Tanah Air. Berbagai cara dilakukan agar gita itu semakin enak di telinga.

Sayangnya, di rentang tahun 2015-2016 lagu tersebut dilarang tayang oleh Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) dengan alasan adanya campur tangan pihak ketiga. Setelah sanksi berlalu, pada tahun 2017, PSSI pun memanggil dua komponis, satu dari Spanyol bernama Luis Milla Aspas dan seorang lagi pria asal Aceh, Fakhri Husaini. 

Jika Luis Milla Aspas belum berhasil menyajikan apa yang diminta, lain halnya dengan Fakhri Husaini. Fakhri, dengan semua pengalamannya, berhasil menyajikan apa yang ternyata hilang dari lagu sepak bola Indonesia: refrain.

Dalam sebuah tulisan berjudul "AABA, Refrain, Chorus, Bridge, Prechorus- Song Forms and Their Historical Development" yang dimuat dalam
German Society for Popular Music Studies (2015), Ralf von Appen dan Markus Frei-Hauenschild menyatakan bahwa refrain adalah lirik di awal atau akhir lagu yang berulang. Refrain, kata mereka, tidak bisa dipisahkan dari bentuk utuh lagu tersebut. Inilah yang membuat bagian refrain di sebuah lagu menjadi yang paling gampang diingat.

Dan itulah yang berhasil diberikan oleh Fakhri Husaini. Melalui tim nasional U-16 Indonesia yang ditanganinya, dia berhasil membuat sebuah refrain di lagu sepak bola Indonesia.

Baca juga: U-16 bukan soal harkat dan martabat sepak bola, kata Fakhri

Dengan prestasi-prestasi yang mereka raih, timnas yang dijuluki Garuda Asia menjadi "refrain" yang diulang-ulang ketika kita menyanyikan lagu sepak bola nasional. Tembang itu pun semakin mantap didengar dan dinyanyikan.

Tidak dapat disangkal memang, tim nasional U-16 Indonesia yang dibentuk pada tahun 2017 merupakan timnas U-16 tersukses dalam sejarah persepakbolaan Indonesia.

Bahkan bila dibandingkan dengan timnas kelompok umur di atasnya termasuk senior, sulit mencari bandingan timnas U-16 ini. Bagaimana tidak, hanya dalam waktu satu tahun setelah dibentuk, skuat asuhan Fakhri Husaini sukses meraih tiga gelar juara di turnamen internasional.

Baca juga: Fakhri bangga Timnas U-16 catat sejarah

Diawali dengan menjadi kampiun di Piala U-16 Tien Phong Plastic 2017 di Vietnam, lalu berlanjut sebagai yang terbaik turnamen sepak bola remaja U-16 JENESYS Jepang-ASEAN 2018 di Jepang dan menjuarai Piala U-16 AFF 2018 di Indonesia.

Sebagai catatan, khusus di Piala U-16 AFF, tahta juara itu menjadi yang pertama sepanjang sejarah keikutsertaan Indonesia. 

Terbaru, di Piala U-16 Asia 2018, Indonesia berhasil mencapai fase perempat final setelah menjadi juara di Grup C. Meski di babak itu mereka dikalahkan Australia dengan skor 2-3, Indonesia sudah mencatat prestasi sendiri di turnamen yang pada penyelenggaraan tahun 2018 diikuti 16 negara itu.

Dengan menjadi perempat finalis, timnas U-16 Indonesia menggoreskan prestasi terbaik keduanya di Piala U-16 Asia usai merebut peringkat keempat pada edisi tahun 1990. 

"Para pemain mesti dihargai dan tak layak dikomentari buruk sejelek apapun mereka bermain," kata Fakhri, ketika menanggapi kritikan dari warganet terhadap penampilan timnya di Piala U-16 Asia 2018.

Tantangan

Perjalanan timnas U-16 Indonesia meraih beragam pencapaian bukanlah tanpa tantangan, dan itu dimulai sejak Fakhri Husaini mencari pemain dari asosiasi provinsi PSSI, Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP), akademi-sekolah sepak bola dan liga yang dijalankan swasta.

Fakhri membutuhkan usaha ekstra untuk mewujudkan tim nasional U-16 karena Indonesia belum memiliki kompetisi liga U-16 yang terintegrasi dan berada di bawah pengawasan PSSI.

Hal berbeda ditemukan di negara seperti Australia, yang menundukkan Indonesia di delapan besar Piala U-16 Asia 2018.

Sebanyak 17 pemain dari 23 nama di timnas U-16 Australia di Piala U-16 Asia 2018 merupakan pemain muda klub-klub Liga Australia (A-League) yang berkompetisi di Liga Muda Nasional (National Youth League) Australia, lima pemain berlaga di kompetisi yang dijalankan pemerintah, lalu satu nama terakhir, Tristan Hammond tercatat sebagai pemain junior klub ternama Liga Portugal Sporting Lisbon.

National Youth League yang mempertandingkan tim dengan pemain berusia 16-21 tahun ini sudah berjalan sejak tahun 2008 dan di bawah pengawasan Federasi Sepak Bola Australia (FFA). Bahkan cikal bakal kompetisi itu sudah ada sejak tahun 1984.

Sementara Indonesia baru memiliki Liga U-16 yang langsung berada di bawah PSSI pada tahun 2018, tepatnya sejak September 2018 atau lebih dari setahun sejak Fakhri mengadakan seleksi nasional pertama untuk timnas U-16.

Tantangan selanjutnya yaitu cedera pemain. Ada pemain timnas U-16 Indonesia yang berlaga sembari merasakan sakit akibat cederanya.

Salah satunya yaitu Sutan Diego Armando Ondriano Zico, atau akrab disapa Zico. Posisinya penyerang dan sangat subur. Dia merupakan pencetak gol terbanyak di kualifikasi Piala U-16 Asia 2018 yang digelar 16-29 September 2017 di Thailand dengan koleksi 10 gol. 

Baca juga: Sutan Zico fokus pulihkan cedera usai Piala Asia

Akan tetapi, sampai Piala U-16 2018 bergulir, Zico sejatinya masih menderita cedera otot kunci paha (groin), otot yang terletak di paha bagian dalam sekitar selangkangan.

Terpaan cedera itu pula yang menjadi alasan mengapa Zico harus rela dirinya tak lagi menjadi pilihan utama pelatih Fakhri Husaini di Piala U-16 AFF 2018 pada Juli-Agustus 2018.

"Ini saja sebenarnya masih sakit, tetapi harus dipaksa demi Indonesia," kata Zico, mengomentari cederanya saat berhadapan kontra Australia di perempat final Piala U-16 Asia 2018.

Meski demikian, dengan kondisi mengabaikan rasa sakit setiap kali berlaga, Zico tampil bagus di Piala U-16 2018 dengan menorehkan dua gol. Torehan tersebut membuatnya menjadi pencetak gol terbanyak di skuat berjuluk Garuda Asia di turnamen dua tahunan itu.

Satu lagi pemain yang mesti bolak-balik mendapatkan perawatan yakni Mochammad Supriadi, pemain sayap biasa beroperasi di sisi serang kiri Indonesia.

Supriadi memiliki kecepatan lari dan eksplosif membongkar pertahanan lawan, sesuatu yang membuatnya kerap mendapatkan terjangan kaki bek lawan.

Baca juga: Pelatih Australia puji permainan Indonesia

Supriadi sempat mengalami cedera kala masa persiapan Piala U-16 Asia 2018. Lalu, pemain asal Surabaya itu kembali cedera di bagian lutut saat pertandingan perdana Indonesia di Grup C Piala U-16 Asia 2018 melawan Iran, Jumat (21/9).

Kondisi tersebut membuatnya baru bermain dari menit ke-87 saat menghadapi Vietnam di laga kedua, sebelum kembali lagi mengisi "starting evelen" di partai terakhir Grup C kontra India dan perempat final menghadapi Australia.

Pemain berusia 16 tahun itu sendiri pada akhirnya tampil baik di kedua laga itu di tengah rasa nyeri yang kadang masih dirasakannya. Bahkan dirinya mendapatkan pujian dari pelatih timnas U-16 India Bibiano Fernandes setelah melawan Indonesia, walau Supriadi mengaku apa yang ditampilkannya ketika itu belum 100 persen karena cederanya.

"Supriadi selalu menghadirkan kesulitan di sisi kanan kami. Dia sulit dihadang," tutur Bibiano saat itu.

Apa yang dicapai timnas U-16 Indonesia asuhan pelatih Fakhri Husaini sepanjang tahun 2017-2018 merupakan salah satu kisah terbaik dalam sejarah persepakbolaan Indonesia.

Karena itulah, jika sepak bola Indonesia diibaratkan lagu, timnas U-16 adalah bagian refrain yang dibuat untuk diulang-diulang ketika kita menyanyikannya.

Fakhri Husaini pun terbukti seorang komponis andal, menemukan cara bagaimana lagu sepak bola Indonesia terdengar indah di tengah nada-nada sumbang yang kadang membuat lagu itu membosankan, bahkan memuakkan.

Baca juga: Indonesia gagal ke Piala Dunia U-17

Pewarta: Michael Teguh Adiputra Siahaan
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2018