Jakarta (ANTARA News) - "Aku mengetahui bahwa aku positif pada bulan Januari 2006. Aku tidak menangis dan juga tidak tertawa dengan kenyataan ini. Buat apa menangis, kenyataannya aku telah terlahir sebagai orang baru." Dari kalimat tersebut sangat terbaca, Rezerdia Adriana Kartini (27) merupakan penderita HIV/AIDS yang tegar. "Acquired Immuno Deficiency Syndrome" (AIDS) atau sindrom menurunnya kekebalan tubuh akibat terinfeksi virus "Human Immuno Deficiency Virus" (HIV ) dalam tubuhnya tetap membuat Rezerdia tenang. "Ini bukan yang pertama kali aku diuji dalam kematian," katanya yang tertular AIDS dari suaminya, seorang pengguna narkoba dengan jarum suntik ("injecting drugs user"). Suaminya meninggal pada 28 November 2006. Rezerdia menulis pengalamannya dalam cerita pendek (cerpen) berjudul "Aku Kartini Bernyawa Sembilan". Disebut bernyawa sembilan karena perempuan yang sebelumnya bernama Raden Ajeng Kartini dan lahir di Jakarta 21 April 1980 itu telah terancam mati karena berbagai penyakit dan kecelakaan seperti demam tinggi, demam berdarah, jatuh dari lantai tiga, ditabrak motor, jatuh dari bus, herpes, dan mengidap HIV/AIDS. Judul cerpennya itulah yang dijadikan judul buku kumpulan cerpen sejumlah perempuan penderita HIV/AIDS yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama dan diluncurkan di Jakarta, Rabu (29/8). Terdapat sebelas cerpen pilihan karya delapan perempuan penderita HIV/AIDS, yakni Siti Rokhimiatun menulis cerpen berjudul "Mandul", Theresia Rao menulis "Karamnya Kapal Miosnan", Lenny menulis "Seorang Ahli Membuat Perahu", Rezerdia Adriana Kartini menulis "Aku Kartini Bernyawa Sembilan", Kartini menulis "Kandas", Joan menulis "Tujuh", Luh Putu Ikha Widari menulis "Istri", dan Tary menulis "Abel Tak Pernah Tahu". Sedangkan Sari menulis tiga cerpen dengan judul "Perempuanku", "Jangan Biarkan Aku Menangis", dan "Tulisan Hati". Melengkapi tulisan cerpen tersebut, buku itu juga memuat tujuh artikel karya tujuh perempuan penulis terkenal yang menjadi pendamping bagi para perempuan penderita HIV/AIDS dalam program pelatihan penulisan kreatif yang diadakan UNAIDS (Badan PBB untuk Program Penanggulangan AIDS), Yayasan Spiritia, dan Gramedia Pustaka Utama pada 2006 di Batam, Manado, Jayapura, Yogyakarta, Bandung, dan Denpasar itu. Buku "Aku Kartini Bernyawa Sembilan" itu memang hasil dari program pelatihan penulisan kreatif itu. Dewi Lestari menulis artikel "Mengenang Sendok dan Sedotan", Ayu Utami menulis "Seabad Lagi...", Jenar Maesa Ayu menulis "Terapi yang Membebaskan", Cok Sawitri menulis "Biarkan Mereka Menulis Apa Saja", Oka Rusmini menulis "Untuk Kemanusiaan Itu Sendiri", Nukila Amal menulis "Lima Hari Bersama Lima Dunia", dan Meirinda menulis "Kisah Saya, Mereka, dan Mereka ...". Dewi Lestari yang pernah menghasilkan novel terlaris "Supernova" menyatakan para perempuan penderita HIV/AIDS ternyata menjalani hidup dengan optimistis. "Saya sempat terkejut melihat mereka. Dalam pandangan saya, mereka adalah orang yang ceria, optimis, penuh humor dan tampak sehat. Secara fisik tidak seperti yang diopinikan di media massa bertubuh kurus dan hitam, dan dirawat di rumah sakit," katanya. Wajah ceria dan kondisi fisik yang tampak sehat memang tampak pada Luh Putu Ikha Widari. "Coba lihat saya, tidak berbeda dengan orang lain. Saya tetap cantik, sehat, tidak sakit-sakitan seperti yang digambarkan di media massa selama ini," katanya disambut tawa dan tepuk tangan peserta diskusi dan peluncuran buku tersebut. Sementara Djenar Maesa Ayu mengatakan, setiap orang, termasuk perempuan penderita HIV/AIDS memiliki kemampuan menulis, sehingga dapat membagi pengalamannya, sekaligus menjadi terapi batin. "Keinginan keras untuk menulis dan kerja keras membuat mereka bisa menulis. Banyak diantara mereka yang sangat bersemangat untuk membagi cerita pada pembaca," ujarnya. Sedangkan Perwakilan UNAIDS di Indonesia, Krittayawan Tina Boonto mengatakan buku tersebut merupakan bagian dari kampanye untuk perempuan dan penanggulangan HIV/AIDS. "Perempuan mempunyai risiko yang sama dengan pria, tetapi mereka jauh lebih lemah dan terdiskriminasi," ujar perempuan asal Thailand ini. Perkiraan Pemerintah Penderita HIV/AIDS menunjukkan angka peningkatan dari waktu ke waktu bahkan perkiraan pemerintah seusai menggelar rapat kabinet terbatas khusus penanggulangan HIV/AIDS di Kantor Presiden pada 19 Juli 2007 lalu menyebutkan bila tidak ada penanggulangan serius, pada 2020 jumlah penderita AIDS di Indonesia mencapai 1,9 juta orang. Data itu disampaikan Menko Kesra Aburizal Bakrie dan merupakan hasil pengajian Komisi Nasional Penanggulangan AIDS yang dipaparkan dalam rapat kabinet tersebut. Di Indonesia, pada akhir 2003 penderita AIDS hanya terjadi pada 25 provinsi sebanyak 1.371 orang, tetapi pada akhir September 2006 jumlah penderita naik mencapai 6.871 orang dan tersebar pada 32 provinsi. Pada 2010 penderita HIV/AIDS diperkirakan berjumlah 400 ribu orang atau naik 5.800 persen dibandingkan jumlah penderita HIV/AIDS pada September 2006 dan pada 2020 bila tidak ada penanggulangan serius jumlah penderitanya akan naik mencapai 1,9 juta orang. Sementara data dari PBB hingga 2005 tercatat sekitar 40 juta orang di dunia mengidap HIV/AIDS dan dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan. "Melihat data itu apa yang ada di benak kita? Apa yang sesungguhnya terjadi dengan generasi kita? Negeri Indonesia terkenal dengan budaya, agama, aturan-aturan ketimuran yang begitu ketat. Kenapa semua ini ada di depan kita?," tulis Oka Rusmini dalam buku ini. Elis, anggota Komisi Nasional Penanggulangan AIDS, mengatakan upaya yang dilakukan pihaknya untuk mencegah perempuan tertular virus mematikan ini telah disosialisasikan. "Usaha itu meliputi setia pada pasangan, gunakan kondom, dan puasa seks. Tapi hal ini tidak berhasil. Karena itu melalui menulis semoga perempuan dengan HIV/AIDS dapat menyampaikan kisah mereka melalui tulisan dan menjadi pembelajaran bagi perempuan lain pada umumnya," katanya. Betapa tidak, pengalaman merupakan guru terbaik dan buku ini telah memuat kisah-kisah besar dalam kehidupan para penulisnya yang sangat patut dijadikan pembelajaran.(*)

Pewarta: Oleh Budi Setiawanto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007