Nilai tukar rupiah terdepresiasi menjadi Rp15.133/ dolar AS pada hari Kamis (4/10) hanya beberapa hari menjelang dimulainya Sidang Tahunan Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) di Bali pada tanggal 8-14 Oktober 2018.

Padahal sekitar satu hingga dua bulan lalu, nilai tukar rupiah masih di bawah Rp15.000/ dolar yakni sekitar Rp14.800 sehingga turunnya atau terdepresiasinya nilai mata uang rupiah itu harus diatasi dengan berbagai langkah strategis.

Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan tahunan yang sangat penting bagi sektor moneter dan keuangan tersebut yang diperkirakan dihadiri sekitar 30.000 peserta dari kurang lebih 190 negara anggota IMF dan Bank Dunia yang juga diikuti belasan ribu pengusaha tingkat dunia.

Bahkan Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo serta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada hari Senin (8/10) akan mendatangi Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat untuk melihat salah satu daerah terparah saat menghadapi gempa bumi disana beberapa waktu lalu, sebagai. salah satu bentuk solidaritas.

Sekalipun pertemuan "kelas kakap" ini sudah disiapkan sejak tahun 2014 yang lalu sehingga bisa dianggap sebagai pertemuan "biasa- biasa" saja, kehadiran ribuan peserta ini tetap saja menjadi perhatian serta sorotan berbagai pihak baik di Indonesia sendiri maupun negara- negara lain. Biaya acara ini yang diperkirakan tidak kurang dari Rp855 miliar menjadi sumber kritikan atau sorotan segelintir orang.

Mantan menteri koordinator Perekonomian Rizal Ramli misalnya mengatakan bahwa jika dihitung dengan uang asing maka
"harga" pertemuan ini sekitar 70 juta dolar AS. Pakar ekonomi ini kemudian menyebutkan jika dibandingkan dengan pertemuan sejenis di negara-negara lain maka ongkosnya "paling- paling" hanya 10 juta dolar AS. Bahkan ia menyebutkan anggaran yang "raksasa" ini seharusnya bisa dimanfatkan untuk membantu saudara sebangsa dan se-Tanah Air yang baru saja dihantam gempa bumi dan gelombang laut tsunami di Palu, Donggala dan Sigi di Sulawesi Tengah an juga di Lombok, NTB.

Sikap kritis itu bisa saja dipahami terutama jika dilihat dari segi anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah Indonesia apalagi jika dikaitkan dengan situasi keuangan di Tanah Air yang masih sering dilanda ketidakpastian. Akan tetapi juga perlu disadari bahwa pada saat mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah tentu Jakarta sudah memperhitungkan benar- benar manfaat dari kegiatan besar ini.

Dengan menjadi penyelenggara acara maka mau tidak mau sorotan dunia terhadap keadaan dalam negeri Indonesia akan terus bertambah atau meningkat. Para pejabat dunia dan juga pengusaha- pengusaha asing pasti akan menyoroti bagaimana kinerja Indonesia di bidang ekonomi. Bisa saja Indonesia hanya dianggap "gengsi-gengsian" dengan menawarkan diri menjadi tuan rumah.

Namun IMF dan Bank Dunia tentu saja bukan pihak-pihak yang bodoh yang dengan begitu saja mau menerima tawaran Indonesia. Orang- orang asing itu pasti juga ingin melihat bahwa dengan menjadi tuan rumah maka Indonesia harus menjadi negara yang lebih baik dan lebih mapan di bidang moneter dan keuangan. Karena itulah kemudian, mereka akhirnya menyetujui permintaan Indonesia itu.

Dengan menjadi tuan rumah, maka misalnya Bandara Ngurah Rai baik harus ditambah fasilitas- fasilitasnya mulai dari landasan pacu, terminal, pemeriksaan oleh Ditjen Bea Cukai serta Ditjen Imigrasi serta fasilitas pengamanan fisik. Kemudian jalan-jalan terus dibuat jadi mulus, gedung-gedung pemerintah dan juga swasta juga pasti dipercantik. Rakyat Pulau Dewata semakin terlatih untuk menerima dengan tulus dan sukacita begitu banyak tamu- tamu asing.

Bahkan pemerintah Indonsia tentu amat mendambakan bahwa pertemuan berskala dunia ini akan mendatangkan atau menghasilkan investasi dalam jumlah ratusan juta hingga miliaran dolar AS yang tentu saja akan membuka begitu banyak lapangan kerja di berbagai sektor karena datangnya investasi dari luar negeri atau kerennya foreign direct investment (FDI).

Memang hal itu tidak akan terwujud dalam sekejab tapi perlu waktu beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun mendatang sehingga investasi itu mulai terlaksana dengan lahirnya begitu banyak proyek- proyek baru yang membuka lapangan kerja baru.

TNI dan Polri sudah mnyiapkan puluhan ribu personelnya untuk mengamankan sidang tahunan Bank Dunia dan IMF ini. Bali memang beberapa tahun lalu pernah digoncang tindakan teror  akan tetapi jika pertemuan :kelas berat" ini berlangsung tanpa gangguan keamanan maka tentu saja dunia luar terutama pengusaha- pengusaha asing akan percaya bahwa aparat keamanan akan mampu menjaga keamanan dan ketertiban yang memang didambakan para pengusaha tersebut.

Setumpuk harapan

Perang dagang antara Amerika Serikat dengan Republik Rakyat Cina bisa diperkirakan akan menjadi salah satu topik utama petemuan tahunan ini karena akan mempengaruhi kegiatan ekonomi di banyak negara termasuk Indonesia sendiri. Jika misalnya Washington menaikkan bea masuk terhadap barang ekspor Beijing dan sebalknya maka Indonesia tentu harus pintar bermain di antara kedua kubu negara utama dunia itu, sehingga banyak produk ekspor Indonesia bisa menembus atau bahkan semakin menembus kedua negara tersebut.

Agar bisa menembus pasar kedua negara tersebut, maka Indonesia harus terus meningkatkan ekspornya tidak hanya dengan meningkatkan jumlah atau volume ekspor tapi juga sekaligus meningkatkan mutu barang- barang yang akan dijual ke berbagai negara.

Indonesia memang, misalnya telah mengekspor pakaian jadi atau garmen ke Amerika Serikat. Akan tetapi tak jarang pula ada penolakan dari negara "Paman Sam" itu dengan 1001 dalih atau alasan. Belum lagi jika ada hambatan nontarif seperti tidak memenuhi persyaratan kesehatan atau dituduh merusak lingkungan.

Dengan demikian maka tentu saja pengusaha- pengusaha Indonesia harus terus siap memperbaiki mutu mata dagangan ekspornya sehingga tidak lagi menghadapi hambatan- hambatan tarif dan nontarif baik di AS maupun negara-negara lain.

Karena itu, kehadiran para pejabat Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional di Tanah Air tercinta ini berserta sekitar 190 negara anggota kedua lembaga keuangan dan moneter dunia tersebut dan sekitar 22 kepala negara atau kepala pemerintahan harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh para pejabat Indonesia terutama di bidang ekonomi.

Para pejabat kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Pertindustrian, Luar Negeri, BKPM , dan semua instansi terkait harus benar- benar memanfaaatkan pertemuan kelas dunia ini untuk menyatukan sikap dan semua tindakan konkret untuk memajukan ekonomi dalam negeri terutama ekspor.

Sampai detik ini, masih saja timbul kesan atau anggapan bahwa kementerian- kementerian itu " jalan sendiri-sendiri" tanpa memikirkan instansi lainnya padahal mereka semua itu adalah bagian darai pemerintah Indonesia. Mereka cuma memikirkan "gengsi" kantornya masing-masing tanpa mempedulikan kantor- kantor pemerintah lainnya. Para pejabat ini hanya "mencari amannya sendiri" sehingga tak ambil pusing terhadap rekan-rekan mereka dari instansi lainnya.

Karena itu, sidang tahunan Bank Dunia dan IMF ini juga harus dimanfaatkan untuk meningkatkan koordinasi diantara semua instansi terkait sehingga akan hapus kesan bahwa mereka cuma mau menang sendiri atau "cari muka" kepada atasan tertinggi di pemerintahan.

Karena itu, tak ada salahnya jika sekalipun sidang tahunan yang bakal membahas situasi makro dunia atau internasional ini juga dimanfaatkan oleh semua instansi pemerintah untuk belajar kompak sehingga benar-benar 100 persen menjadi abdi rakyat atau masyarakat.

Baca juga: Di Pertemuan IMF, BUMN unjuk pencapaian lewat Paviliun Indonesia
Baca juga: Direktur IMF akan ke Lombok untuk sampaikan bantuan

Pewarta: Arnaz F. Firman
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018