Sambil menatap eskavator bekerja menggali lumpur bercampur reruntuhan rumah di Kelurahan Balaroa, Palu, Ronald termenung.

Mengenakan peci dan gamis putih, ia berdiri di gundukan lumpur kering dengan dua tangan berkait di belakang, bersama pamannya menunggu proses evakuasi sejak pagi dengan harapan jenazah bibinya ditemukan.

Anak 13 tahun itu amat murung. Senyum tipis tak bisa menyembunyikan duka di wajahnya.

Gempa 7,4 Skala Richter yang berpusat di timur laut Donggala pada 28 September memicu likuifaksi di Perumnas Balaroa, membuat permukiman padat penduduk tempat keluarga bibinya tinggal luluh lantak.

Bencana itu membuat Ronald kehilangan bibi dan dua adik sepupu yang dekat dengannya. 

Namun tak seperti Ronald, anak-anak yang mengungsi di tenda pengungsian Kantor Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tengah terlihat lebih ceria.

Bermain, bercerita, berada bersama teman sebaya, dan melakukan aktivitas dengan dampingan tim pemulihan trauma mengikis duka mereka.
 
Seorang anak pengungsi gempa dan tsunami Palu-Donggala mengintip dari jendela tenda pengungsian di halaman kantor RRI Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (11/10/2018). ANTARA FOTO/Yusran Uccang/kye


Kelompok rentan

Anak termasuk kelompok yang paling rentan terguncang jiwanya saat menghadapi bencana, namun juga yang paling cepat pulih sesudahnya.

Meski demikian, tanpa upaya pemulihan trauma yang tepat, bencana bisa meninggalkan jejak pada karakter dan kepribadian mereka pada masa mendatang.

"Dampaknya anak-anak jadi kurang percaya diri, anak yang cepat marah, mudah meledak-ledak secara negatif, penuh dengan masalah, tidak bisa bekerja sama, tidak percaya pada orang, potensi-potensinya akan redup," kata Seto Mulyadi, pemerhati anak sekaligus Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia.

Tanpa pemulihan yang tepat, ia menjelaskan, jejak guncangan gempa pada jiwa anak-anak akan membuat mereka kehilangan potensi.
 
"Apakah kita siap memetik generasi masa depan yang pemurung, pendiam, kurang percaya diri dan sebagainya," katanya.

Ia mengatakan bahwa dunia anak-anak adalah dunia bermain. Mengajak bermain dan melakukan hal-hal yang menggembirakan akan mengikis trauma mereka akibat bencana. Sesederhana itu.

Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto setuju upaya pemulihan trauma perlu digencarkan oleh semua pihak.

Ia mengatakan bahwa semua bisa berperan dalam upaya pemulihan trauma pascabencana, namun tentunya harus dengan kehati-hatian.

Setiap institusi, lembaga, atau organisasi kemanusiaan bisa berkontribusi dengan mengirimkan relawan untuk program pemulihan trauma.

Media bisa ambil bagian dengan tidak menampilkan rekaman atau gambar-gambar yang malah bisa membangun trauma, seperti video yang menampilkan detik-detik kejadian bencana yang menimbulkan kengerian.

Warganet bisa berperan dengan bersikap dan berbuat bijak, tidak menebar kabar bohong atau informasi terkait bencana yang belum jelas kebenarannya. 

Informasi-informasi semacam itu mungkin tak langsung berdampak bagi yang tidak sedang merasakan bencana. Tapi bagi para penyintas, berita bohong bisa langsung membangkitkan kembali kengerian yang pernah mereka rasakan.

Dan suara-suara tentang Palu Bangkit tentu lebih baik ketimbang ajakan Pray for Palu yang terasa mendayu. 

Baca juga:
Anak-anak belia di tengah bencana
Berjuang hidup di tengah kepungan reruntuhan Balaroa

 

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018