Jakarta (ANTARA News) - Di tengah Pertemuan Tahunan IMF-WB 2018 di Nusa Dua, Bali, sebuah perhelatan yang menampilkan beragam program yang mengakomodasi prinsip-prinsip ekonomi kapitalisme, Menteri Keuangan Sri Mulyani mendorong peran industri keuangan Syariah untuk terlibat dalam pembiayaan infrastruktur, dengan menggunakan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

 "Menerapkan pembiayaan berbasis syariah dalam KPBU merupakan 'platform' alternatif yang baik untuk skala lokal maupun global," ujar Sri Mulyani dalam diskusi bertemakan "Investor Roundtable on Islamic Infrastructure Finance" pada pertemuan yang digelar International Monetary Fund (IMF) dan World Bank di Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10).

Dia mengatakan Indonesia masih membutuhkan pembiayaan dari sektor swasta untuk memenuhi pembiayaan pembangunan infrastruktur yang jumlahnya belum memadai guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Sri Mulyani mengakui bahwa selama ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbatas untuk membangun infrastruktur, sehingga pembiayaan dari pelaku swasta berbasis Syariah menjadi sangat penting.

Berdasarkan laporan terbaru, penyediaan infrastruktur global membutuhkan sekitar 3-4 triliun dolar AS per tahun hingga tahun 2030.

Namun, pendanaan yang tersedia dari pemerintah dan lembaga pembiayaan multilateral hanya mencapai 300 miliar dolar AS per tahun

Lembaga riset McKinsey juga mencatat bahwa investor institusional memiliki dana sebesar 120 triliun dolar AS yang tersimpan di perbankan. Oleh karena itu, sektor swasta memiliki kesempatan besar untuk memainkan peran penting dalam mengatasi kesenjangan pendanaan tersebut.

Keuangan Syariah

Dalam satu dekade terakhir, industri keuangan syariah menjadi salah satu model ekonomi yang berkembang sangat cepat dalam sistem keuangan global.

Bahkan, sejumlah laporan menyebutkan bahwa pembiayaan Syariah berkembang pesat dalam tiga dekade terakhir dengan nilai 1,6 triliun dolar AS, melibatkan investor skala besar dan kecil di seluruh dunia.

Dengan pertumbuhan populasi Muslim di dunia yang tinggi dari waktu ke waktu, termasuk di Amerika Serikat dan Eropa, para analis keuangan memperkirakan keuangan syariah merupakan sektor yang sangat potensial saat ini dan di masa mendatang.

Pada Oktober 2014, misalnya, Luksemburg mengeluarkan obligasi lima tahunan Islam atau dikenal dengan sukuk senilai 254 juta dolar AS.

Namun Luksemburg bukanlah negara Barat pertama yang menerbitkan sukuk karena pada Juni 2014 Inggris telah dahulu menerbitkan surat berharga berprinsip Syariah tersebut.

Sukuk juga menarik Goldman Sachs dan HSBC, dua raksasa keuangan Barat yang memperkenalkan produk keuangan Syariah mereka pada beberapa tahun lalu.

Selama satu dekade terakhir ini, sejumlah bank di Amerika Serikat (AS) menetapkan hipotek dan pinjaman untuk nasabah Muslim mereka menurut hukum ekonomi Islam.

Pada bulan April 2017, Arab Saudi menerbitkan obligasi Syariah terbesarnya yang pernah ada di Bursa Efek Irlandia. Obligasi Islam atau sukuk senilai 9 miliar dolar AS tersebut menghasilkan pesanan dengan nilai lebih dari 33 miliar dolar AS.

Laporan tentang keuangan Islam yang diterbitkan oleh Dewan Hubungan Luar Negeri AS beberapa tahun lalu menyebutkan bahwa asset yang dipegang oleh bank-bank berbasis Syariat Islam terus tumbuh lebih dari 15 persen per tahun, dan analis memprediksi ukuran potensi pasar keuangan Islam bisa mencapai beberapa triliun dolar dalam hitungan tahun.

Pertumbuhan keuangan Islam yang kian tinggi merupakan fenomena global, kata seorang ahli keuangan Islam di Tufts University, AS, Ibrahim Warde.

"Keuangan Islam secara umum telah mendapat manfaat dari krisis keuangan terutama karena lembaga-lembaga keuangan Islam telah melakukan lebih baik daripada yang konvensional. Salah satu dasar keuangan Islam - selain tidak membebankan adanya bunga - adalah harus ada hubungan langsung antara produk keuangan dan ekonomi riil. Itulah yang membuatnya lebih menarik," jelasnya.

Resistensi

Peneliti dari Universitas Taibah, Arab Saudi, Faisal Alqahtani dan David G. Mayes dalam laporan ilmiah yang terbit pada 2017 menjelaskan bahwa ketangguhan lembaga-lembaga keuangan Islam dalam menghadapi krisis global adalah karena prinsip-prinsip Syariah mencegahnya dari penerapan mortgaged-backed securities (MBS) atau Efek Beragun KPR (Kredit Pemilikan Rumah), collateralized debt obligation (CDO) atau sejenis surat utang turunan yang menggunakan kumpulan surat utang lain sebagai jaminan, serta credit default swaps (CDSs).

Praktik dan instrumen keuangan yang diyakini bertanggung jawab atas krisis global tersebut dilarang dalam perbankan berbasis Islam.

Sebaliknya, lembaga keuangan konvensional yang menerapkan praktik-praktik tersebut paling terdampak krisis dan akhirnya harus tumbang.

Karenanya, ekonom Saudi, M.U. Chapra berpendapat bahwa menghindari prinsip-prinsip utama yang sesungguhnya merupakan perangkap sistem perbankan konvensional dan mengadopsi prinsip-prinsip perbankan Islam akan meminimalkan keparahan dan tingkat krisis keuangan.

Setidaknya ada empat hal yang menjadikan konsep dan praktik ekonomi Syariah unik dan berbeda dari sistem konvensional.

Pertama, Syariat Islam melarang riba atau penambahan nilai pada pengembalian hutang atau transaksi keuangan lainnya seperti tabungan, yang dikenal dengan bunga.

Ke dua, Islam melarang transaksi yang belum jelas baik benda yang diperjualbelikan, akad (perjanjian), maupun pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan transaksi tersebut. Syariat Islam mengistilahkan hal ini dengan "gharar" yang berarti ketidakjelasan.

Ke tiga, tidak boleh ada praktik "maysir" atau "qimar" yang artinya pertaruhan atau perjudian dalam transaksi keuangan Islam.

Praktik gharar dan maysir/qimar di dalam transaksi keuangan konvensional ditemukan dalam produk keuangan, seperti asuransi dan saham yang diperjualbelikan di bursa konvensional.

Selain ketiga praktik tersebut, Syariah Islam juga melarang berinvestasi di bisnis yang mengandung unsur haram, seperti tempat-tempat hiburan yang menyediakan sarana perjudian, pergaulan bebas, serta penjualan minuman keras dan barang-barang konsumsi yang diharamkan dalam Islam.

Konsep ekonomi Islam tersebut telah dikenalkan dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW sejak 14 abad yang lalu. Selama masa tersebut, ajaran dan penerapan ekonomi Islam tak berubah.

Kini, banyak pihak mulai melirik ekonomi Syariat karena terbukti tahan banting di tengah krisis global justru karena tidak mempraktikkan prinsip-prinsip keuangan konvensional.

Namun, dalam dialog di pertemuan IMF-WB itu, Sri Mulyani mengakui bahwa meski potensi sumber pendanaan dari investor Muslim cukup besar, mereka enggan terlibat dalam praktik keuangan konvensional.

Hal itu wajar karena tak mungkin memadukan sistem ekonomi dari dua ideologi yang berseberangan.

Mempertimbangkan ekonomi Syariat yang telah berusia lebih dari 14 abad dan murninya ajaran serta praktik keuangan Syariat selama masa yang sangat panjang tersebut, maka tak mungkin melibatkan ekonomi Islam dalam platform yang di dalamnya masih ada, walau setitik, praktik riba, gharar, maysir/qimar, dan investasi yang diharamkan oleh hukum Islam.

Jika sungguh-sungguh ingin mendorong ekonomi Syariat untuk membiayai program-program pembangunan, maka seharusnya pemerintah menyediakan jalan yang luas dan bebas dari hal-hal yang diharamkan oleh hukum Islam. Hal ini bertujuan memberi kepastian bagi para investor Muslim bahwa bisnis yang mereka tempuh sesuai dengan ajaran Islam sehingga penerapan dan hasilnya dapat optimal.

Baca juga: IMF-WB - Menkeu dorong peran keuangan syariah dalam pembiayaan infrastruktur
Baca juga: Bappenas: Peta jalan ekonomi syariah rampung akhir tahun
 

Pewarta: Libertina W. Ambari
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018