Jakarta (ANTARA News) - Bulan September 2018 menjadi bulan yang penuh keprihatinan bagi bangsa Indonesia. Belum juga peristiwa gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang memakan banyak korban jiwa dan harta belum kembali pulih, peristiwa gempa dahsyat disertai tsunami mengguncang mengguncang wilayah Kota Palu, Kabupaten Donggala dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) pada 28 September petang.

Bencana gempa bumi yang diikuti tsunami di wilayah Sulawesi Tengah tersebut memakan ribuan korban jiwa, korban luka dan kerugian fisik yang begitu besar. Berkaca dari berbagai peristiwa alam tersebut, sudah sepatutnya bangsa Indonesia menjadi bangsa yang selalu peduli dan siap siaga terhadap ancaman bencana yang datang dari alam, yang tidak pernah diketahui kapan akan datang.

Tinggal di daerah rawan bencana memang memerlukan kesiap dan kesiagaan dalam menghadapinya. Tidak cukup kesadaran tersebut muncul karena dipicu oleh kejadian bencana besar yang membuat orang menjadi khawatir dan takut. Perlu pengetahuan yang selanjutnya diwujudkan dalam tindakan cepat, tepat, dan terkoordinasi untuk menanggulanginya.

Anak-anak adalah pihak yang paling perlu mendapatkan pengetahuan kebencanaan. Setidaknya, mereka mampu menyelamatkan diri. Oleh karena itu, sangat diperlukan edukasi dan kesiapsiagaan warga sebelum terjadi bencana atau disaster preparedness, khususnya bagi anak-anak.

Pasalnya, korban jiwa dalam suatu bencana lebih banyak terjadi pada anak-anak karena kemampuan mereka menyelamatkan diri, dan pengalaman terhadap bencana yang minim. Jika anak tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam bertindak ketika menghadapi kejadian bencana alam, maka yang terjadi anak-anak akan merasakan trauma yang mendalam dan berpengaruh pada psikologis anak.

Pada sejumlah kejadian bencana, hak-hak anak kerap terabaikan padahal mereka termasuk golongan rentan selain para lanjut usia, kaum difabel dan ibu hamil. Anak-anak korban gempa, menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjadi kelompok yang menghadapi situasi trauma.

Dalam setiap kejadian bencana KPAI menerima pengaduan masyarakat tentang anak-anak yang mengalami trauma dan kehilangan sosok orang tua karena kejadian gempa. Selain itu, mereka juga tidak memiliki sarana untuk bermain dan rekreasi. Gempa juga menyebabkan anak-anak kehilangan tempat bermain, belajar dan rekreasi untuk mendukung tumbuh kembangnya menjadi generasi sehat dan cerdas.

Baca juga: Desa Ramba dan kisah nenek tertutup runtuhan rumah

Baca juga: Jejak guncangan gempa masih tersisa dalam jiwa di Balaroa



Edukasi bencana

Indonesia merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap bencana alam, baik berupa gempa bumi, tsunami, longsor dan erupsi gunung api. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi ancaman bencana gempa dan tsunami adalah dengan melakukan mitigasi bencana. Mitigasi bencana adalah upaya meminimalkan jatuhnya korban jiwa dan harta yang dilakukan sebelum, ketika dan setelah bencana.

Masyarakat Indonesia didorong untuk memiliki kepedulian mengenali langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menghadapi kejadian bencana. Kompetensi tentang cara menghadapi bencana harus dimiliki guru, orang tua dan orang dewasa yang berada di sekitar anak-anak.

Selain itu, metode untuk meningkatkan pembelajaran bahaya gempa bumi untuk pendidikan anak usia dini dan sekolah dasar perlu diperkenalkan dan digencarkan kembali di satuan pendidikan terutama di wilayah yang sering terjadi musibah gempa untuk meningkatkan kesadaran (awareness) dan budaya aman (safe culture) anak sekolah.

Edukasi kebencanaan dinilai amat penting untuk menyiapkan mental dan kesadaran publik dalam melakukan tindakan-tindakan cepat pada saat dan sesudah bencana terjadi. Edukasi juga dapat meminimalisir korban jiwa karena masyarakat akan memperoleh pemahaman tentang penyelamatan jiwa saat bencana itu terjadi.

Kecenderungan yang terjadi pada sejumlah kejadian bencana adalah tindakan kuratif ketimbang preventif, saat kejadian bencana semua orang baru tersadar bahwa mereka hidup di atas wilayah gempa.

Ketika terjadi musibah gempa, kisah pilu dan sedih korban gempa menjadi topik bahasan media karena banyak keluarga tercerai berai, anak-anak mengalami trauma, kehilangan kesempatan untuk bersekolah karena bangunan sekolah rusak, guru-guru mereka mengalami trauma sehingga untuk dapat kembali mengajar membutuhkan pemulihan. Belum lagi bangunan fisik sekolah yang kebanyakan mengalami kerusakan parah, termasuk hilangnya fasilitas belajar dan mengajar.

Baca juga: Anak-anak belia di tengah bencana

Baca juga: Terapi untuk pulihkan anak dari trauma bencana


Pada peristiwa gempa di Sulawesi Tengah, ada kisah menarik dari Cliff Bredley (10) siswa Kelas 5 SD BK Jono Oge Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Saat gempa mulai menggoyang Tanah Tandulako, kakaknya sempat mengambil tas sekolahnya dan diisi dengan pakaian seadanya serta dua buku tulis.

Kesadaran kakak Cliff untuk menyempatkan mengisi tas berisi pakaian dan buku saat menyelamatkan diri dari kejadian gempa patut diapresiasi karena mungkin hanya segelintir saja dari korban gempa yang sadar akan pentingnya menyiapkan kebutuhan darurat bila sewaktu-waktu terjadi musibah alam.

Dengan banyaknya kejadian gempa, sudah seharusnya pemerintah tidak sekadar menyiapkan tindakan kuratif tetapi menjadikan musibah alam sebagai momen untuk membangun kesadaran mitigasi bencana yang melekat dalam diri setiap orang dan diperkenalkan sejak anak-anak usia dini dengan kebijakan preventif.

Apalagi, mayoritas penduduk Indonesia adalah usia produktif yang sebagian merupakan anak-anak dan remaja usia sekolah sehingga saat potensial jika sekolah dan perguruan tinggi menjadi sasaran penerapan kebijakan preventif untuk mitigasi bencana.

Kebijakan mitigasi bencana yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional ataupun berupa kegiatan ekstrakurikuler, seperti simulasi menghadapi bencana bagi anak-anak usia prasekolah akan lebih baik ketimbang teori. Demikian juga, pada jenjang pendidikan tinggi dapat menjadi mata kuliah wajib di awal semester dan tidak sekadar menjadi tema yang diselipkan atau diselenggarakan pada kegiatan temporal semata.

Kejadian gempa dan musibah alam sekaligus menyadarkan masyarakat tentang nilai kearifan lokal yang dimiliki suku-suku bangsa di Indonesia dalam menghadapi kejadian bencana alam yang berkembang di tiap-tiap daerah. Salah satu nilai kearifan lokal dimiliki masyarakat Aceh dalam menghadapi dan menanggulangi bencana.

 
Peneliti Bencana Tsunami Peneliti dari Pusat Kajian Wilayah Asia Rikkyo University Jepang Yoko Takafuji (kanan) memperlihatkan buku hasil penelitiannya tentang bencana alam di Aceh dan Jepang serta buku cerita bergambar kepada Walikota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin Djamal (kiri) di Banda Aceh, Kamis (27/8). Yoko Takafuji membuat cerita bergambar tentang bencana gelombang tsunami di Kepulauan Simeulue yang dikenal dengan sebutan Smong yang diharapkan menjadi pelajaran sehingga bisa mengurangi korban bencana alam. (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)



Smong merupakan sebuah contoh kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Indonesia dalam mengantisipasi terjadinya bencana alam. Smong adalah bait-bait dalam permainan tradisional anak-anak di Pulau Simeuleu, Aceh yang secara tidak langsung menceritakan mengenai bencana tsunami jauh sebelum 2004.

Diceritakan dalam bait tersebut bila terjadi goncangan dan diikuti oleh surutnya air laut, maka anak diharuskan pergi ke tempat tinggi, karena merupakan sebuah pertanda akan terjadinya tsunami.

Demikian juga kearifan lokal Suku Baduy di Banten dalam memahami alam dan menghadapi ancamannya melalui mitigasi ala mereka. Masyarakat Baduy banyak yang mendiami Pegunungan Keundeng di Kabupaten Lebak, Banten, merupakan salah satu suku di Indonesia yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya.

Dalam menghadapi ancaman gempa bumi, seperti digambarkan Suparmini dalam jurnalnya tahun 2014, masyarakat Baduy menyiasatinya dengan membuat aturan adat atau pikukuh dan larangan dalam membangun rumah. Dalam hal ini, bahan bangunan yang digunakan adalah bahan-bahan yang lentur, seperti bambu, ijuk, dan kiray supaya rumah tidak mudah rusak. Rumah juga tidak boleh didirikan langsung menyentuh tanah. Hal ini dilakukan supaya rumah tidak mudah roboh.

Dengan dilakukannya edukasi mengenai persiapan jika terjadi bencana alam, anak juga bisa mengingatkan orang tua mengenai hal-hal yang penting, misalnya mematikan aliran listrik atau pindah ke tempat yang lebih aman.

Dibanding sekadar teori, anak akan lebih menyerap informasi jika dibarengi dengan praktik. Guru dan orang tua bisa bekerja sama untuk melakukan simulasi bencana alam. Selain itu, utamakan untuk memberi pengetahuan mengenai bencana alam yang lebih rentan terjadi pada wilayah kita bermukim.

Baca juga: Anak-anak korban gempa ingin sekolah kayu

Baca juga: Berjuang hidup di tengah kepungan reruntuhan Balaroa


 

Pewarta: Zita Meirina
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2018