Kalau masih ada  yang belum setuju itu karena belum menerima informasi dengan utuh. Makanya pengembang pembangkit listrik terbarukan harus aktif. Amdal juga harus diperkuat.
Jakarta (ANTARA News) - Indonesia memperhatikan laporan terbaru panel antarpemerintah tentang perubahan iklim (IPCC) yang menyatakan perlu upaya yang lebih kuat untuk memangkas emisi gas rumah kaca (GRK) secara global, diantaranya peningkatan pemanfaatan listrik dari energi baru terbarukan. 

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Minggu, menyatakan tindak lanjut laporan IPCC terhadap kebijakan pengendalian perubahan iklim di tanah air memang menunggu keputusan yang akan diambil oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). 

“Tapi tentu saja kami tetap memperhatikan laporan IPCC,” katanya.

Mengacu laporan terbaru IPCC yang dirilis di Incheon, Korea Selatan, 8 Oktober 2018, pemanasan global diperkirakan akan melampaui 1,5 derajat celcius antara tahun 2030 dan 2052 dibandingkan dengan masa pra revolusi industri jika emisi GRK terus berlanjut pada tingkat saat ini. 

Untuk mencegah kenaikan suhu bumi lebih dari 1,5 derajat celcius, IPCC mendorong peralihan sumber energi global pada energi baru terbarukan (EBT). 

Ruandha mengatakan, penggunaan energi dan pembangkit listrik terbarukan memang berdampak secara langsung pada penurunan emisi GRK. Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sebanyak 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan dukungan Internasional. 

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kontribusi energi terbarukan untuk bauran energi pembangkitan listrik pada tahun 2017 sebesar 12,52 persen.

Dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2018-2027, kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi pembangkitan tenaga listrik ditarget naik mencapai 23 persen pada 2025.

Pilihan tepat
Saat ini sejumlah pembangkit listrik terbarukan yang sedang dikembangkan diantaranya Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Sidrap, Sulawesi Selatan, Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) Lumut Balai, di Muara Enim, Sumatera Selatan dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
 
Pembangkit-pembangkit ini akan turut andil dalam pengurangan karbon. PLTA Batang Toru yang menggunakan tenaga air yang ramah lingkungan, akan memberikan dampak positif pada pengurangan emisi karbon 1,6 megaton per tahun.

Ruandha mengakui, pengembangan pembangkit listrik terbarukan tak luput dari suara-suara negatif. Namun dia menyatakan, pengembangan pembangkit listrik terbarukan adalah pilihan yang paling tepat untuk memenuhi kebutuhan energi tanpa harus meningkatkan emisi GRK.

Dia juga meyakini, pengembang pembangkit listrik terbarukan sudah menyiapkan jaring pengaman untuk mencegah timbulnya dampak negatif. Meski demikian, KLHK tetap meminta para pengembang pembangkit listrik terbarukan untuk memperkuat dokumen Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) agar kekhawatiran soal dampak negatif bisa dijawab.

“Kalau masih ada  yang belum setuju itu karena belum menerima informasi dengan utuh. Makanya pengembang pembangkit listrik terbarukan harus aktif. Amdal juga harus diperkuat,” kata Ruandha. 

Perlunya pengembangan energi terbarukan kembali ditegaskan Presiden Joko Widodo saat membuka sidang pleno Dana Moneter Internsional (IMF) di Bali, Jumat (12/10/2018). Menurut Presiden, perlu peningkatan investasi hingga 400 persen untuk pemanfaatan energi terbarukan demi menyelamatan kehidupan bersama.

Baca juga: Solusi terbaik krisis listrik melalui energi terbarukan

Baca juga: Energi terbarukan tingkatkan kesejahteraan dan perkuat ketahanan


 

Pewarta: Erafzon Saptiyulda AS
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2018