Pada saat masalah ekonomi sedang melilit keluarga dan tidak ada uang, para calo TKI datang menawarkan jasa dengan menyiapkan segala sesuatunya, maka orang tidak lagi berpikir panjang apalagi soal risiko.
Kupang (ANTARA News) - Direktur Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia, Gabriel Goa menyatakan, faktor ekonomi adalah  pendorong utama bagi warga di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menjadi tenaga kerja ke luar negeri.

Selain itu, karena belum ada industri di NTT, yang bisa membuka lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja di daerah itu, kata Gabriel Goa kepada Antara di Kupang, Selasa, terkait faktor utama warga NTT menjadi TKI.

"Faktor pendorong paling mendasar adalah ekonomi keluarga, di samping belum adanya industri di NTT, sehingga lapangan pekerjaan juga tidak ada, maka pilihannya adalah menjadi TKI," katanya.

Mengenai TKI non prosedural, dia mengatakan banyak TKI yang ingin keluar negeri untuk mencari kerja, tetapi karena prosedur melalui jalur resmi terlalu berat, sehingga orang lebih memilih jalur yang mudah yakni menjadi TKI ilegal.

"Untuk berangkat ke luar negeri melalui jalur prosedural, persyaratan formil dan materilnya sangat banyak, dan membutuhkan uang yang besar juga," katanya.

Sementara warga yang ingin bekerja di luar negeri, sama sekali tidak memiliki modal.

"Pada saat masalah ekonomi sedang melilit keluarga dan tidak ada uang, para calo TKI datang menawarkan jasa dengan menyiapkan segala sesuatunya, maka orang tidak lagi berpikir panjang apalagi soal risiko," katanya.

Untuk mengatasi masalah ini, kata dia, Pemerintah di NTT harus bekerja sama dengan lembaga keagamaan, lembaga pendidikan dan perusahaan nasional serta multinasional untuk mempersiapkan sumber daya manusia NTT.

SDM NTT, kata dia, harus disiapkan di bursa pasar kerja internasional dan siap untuk memenuhi permintaan dari luar negeri.

"Pemerintah NTT bisa membangun Balai Latihan Kerja (BLK) berstandar internasional dan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) untuk memberikan kemudahan bagi calon tenaga kerja," katanya.

BLK dan LTSA ini, harus sungguh-sungguh dibangun dan berfungsi secara profesional, dan pengelolanya pun harus memiliki integritas, bukan bermental koruptif, katanya.

"Dan saya berpikir bahwa NTT bisa pergi dan belajar ke Philipina tentang bagaimana cara mengirim TKI yang baik dan profesional," katanya.*

Baca juga: Indonesia-Arab Saudi uji sistem penempatan satu kanal pekerja migran

Baca juga: Nusron: Indonesia-Malaysia bahas dua hal terkait perlindungan TKI




 

Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018