Selain menyasar MBR masalah ketersediaan rumah juga harus memperhatikan non-MBR
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia DKI Jakarta (Hipmi Jaya), Afifuddin Suhaeli Kalla menginginkan adanya pembenahan regulasi di sektor perumahan mengingat masih tingginya kesenjangan (backlog) antara permintaan dan pasokan.

"Belum adanya regulasi yang mumpuni membuat gerak para pengembang terbatas untuk mendukung program sejuta rumah," katanya di Jakarta, Rabu dalam acara "Jaya Properti Club".

Saat ini kebutuhan masyarakat terhadap perumahan sangat tinggi, namun, keterjangkauannya sangat rendah terutama untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Itulah sebabnya mengapa masih banyak MBR yang tinggal di rumah tidak layak huni, kata Afifuddin yang akrab disapa Afie.

Ia berharap cakupan program sejuta rumah ini lebih luas tidak hanya untuk MBR. Program ini juga termasuk pembangunan hunian bagickalangan non-MBR atau rumah-rumah komersial yang tak disubsidi. 

"Bagi golongan MBR yang berhak mendapat subsidi, mereka dapat menikmati berbagai fasilitas dari pemerintah termasuk keringanan uang muka KPR sampai dengan satu persen”, ujar Afie

Badan Pusat Statistik (BPS) melansir persentase warga yang mengontrak di DKI Jakarta melebihi persentase nasional.

Dengan harga rumah di Jakarta yang semakin tak terjangkau, wilayah sekitarnya pun menjadi incaran. 

Dalam perkembangannya, harga rumah di sekitar kota satelit seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang pun ikut melambung tinggi.

Di wilayah Bekasi misalnya, pada sekitar 2000, masih banyak rumah yang dijual di bawah Rp100 juta. Kini, sudah tidak bisa kita temui lagi rumah di Bekasi dengan harga di bawah Rp100 juta. Kalaupun ada yang murah, letaknya sangat jauh dan infrastruktur pendukungnya belum memadai.

Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR), backlog rumah mencapai 7,6 juta unit pada 2014 berdasarkan konsep penghunian.

Angka itu diharapkan bisa turun menjadi lima juta unit pada 2019. Sementara dari konsep kepemilikan, backlog rumah mencapai 13,5 juta rumah. Angka ini diprediksi turun menjadi 6,8 juta unit pada 2019. 

Ketua Panitia Pelaksana "Jaya Properti Club" Fristian Kalalembang menambahkan rumah sebagai   salah satu kebutuhan dasar manusia. Sayangnya, kebutuhan ini kerap kali terabaikan karena harganya yang tinggi. 

Tingkat kenaikan gaji sudah tidak mampu menandingi kenaikan harga rumah. Di kota-kota besar, katanya, harga rumah tumbuh lebih tinggi dari tingkat inflasi. Real Estate Indonesia (REI) mencatat kenaikan harga rumah di kota besar sudah mencapai 10-30 persen. 

Angka tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan inflasi Indonesia yang rata-rata mencapai lima persen dalam lima tahun terakhir.

Oleh karena itu, sebagai organisasi kader pengusaha, Hipmi memiliki peran dan tanggung jawab dalam pengembangan kewirausahaan dan menumbuhkembangkan potensi pengusaha muda yang profesional dan bertanggung jawab. 

Acara "Jaya Properti Club" yang akan digelar secara rutin sebagai kerja sama Hipmi Jaya dengan REI DKI Jakarta itu, diadakan dalam rangka kepedulian dan mencari solusi mengenai permasalahan properti.

Kali ini, kegiatan "Jaya Properti Club" diisi pakar properti, Hipmi, Gapensi, dan REI, jelas Fristian.

Baca juga: Presiden Jokowi akan hadiri peluncuran program pesantrenpreuner Hipmi
 

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2018