Jakarta, (ANTARA News) - "Tenggelamkan..!", adalah satu kata yang dipopulerkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Menteri Susi, demikian dia dikenal secara luas, diangkat sebagai orang nomor satu di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh Presiden Joko Widodo pada pelantikan Kabinet Kerja, 27 Oktober 2014.

Sejak pertama menjabat, Menteri Susi mulai tancap gas, terutama dalam menekan jumlah pencurian ikan di berbagai kawasan perairan Indonesia.

Berdasarkan data KKP, pada 2014 jumlah kapal pelaku penangkapan ikan ilegal yang ditenggelamkan delapan unit.

Pada tahun-tahun berikutnya, jumlah tersebut melesat, yaitu 113 kapal pada 2015, 115 kapal pada 2016, 127 kapal pada 2017, dan hingga September 2018 sebanyak 125 kapal.

Hingga artikel ini diturunkan, sebanyak 448 kapal sudah ditenggelamkan karena terlibat pencurian ikan di Nusantara.

Dari total 488 kapal itu, terbanyak 276 kapal dari Vietnam, diikuti 90 kapal dari Filipina, 50 kapal dari Thailand, dan 41 kapal dari Malaysia.

Penangkapan dilakukan antara lain karena kapal-kapal itu ditemukan menangkap atau mengangkut ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI) tanpa Surat Izin Usaha Perikanan, menangkap ikan dan/atau mengangkut ikan di WPPRI tanpa Surat Izin Penangkapan Ikan, serta menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan.

Penangkapan dilakukan melalui kolaborasi unsur-unsur Satgas 115, yaitu TNI AL, Polair Baharkam Polri, Badan Keamanan Laut, dan Pengawas Sumber Daya Perikanan (PSDKP) KKP.

Prestasi selama empat tahun tersebut juga mengangkat nama Susi Pudjiastuti di tingkat internasional, sehingga dia juga diundang menjadi pembicara di sejumlah seminar atau diskusi di luar negeri.

Pada Pertemuan Pimpinan Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan (SDSN) di New York, AS, 24 September 2018, Menteri Susi berorasi mengenai sektor kelautan berkelanjutan.

Sebagaimana diketahui, SDSN merupakan forum yang dibentuk pada 2012 oleh Sekjen PBB ketika itu, Ban Ki Moon, yang mengumpulkan para pakar iptek mancanegara guna mempromosikan solusi pembangunan berkelanjutan.

Acara itu dihadiri antara lain Jeffrey Sachs (Direktur SDSN), Guido Schmidt-Traub (Direktur Eksekutif SDSN), dan Peter Bakker (CEO World Business Council on Sustainable Development), Mari Elka Pangestu (pakar ekonomi Indonesia dan anggota Dewan Direksi SDSN), dan Prof. Jatna Supriatna (Guru Besar Universitas Indonesia).

Saat menjadi pembicara, Menteri Susi menceritakan tentang pengalaman Indonesia menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan perikanan Indonesia.

Di antara kebijakan yang disampaikan oleh Menteri Susi adalah pemberantasan penangkapan ikan ilegal yang selama ini merusak ekosistem laut dan menghabiskan sumber daya ikan Indonesia.

Menteri Kelautan dan Perikanan RI itu juga mengajak peserta pertemuan untuk mengakui bahwa laut memiliki hak untuk dilindungi dan dilestarikan.


Menuai pujian

Paparan yang disampaikan Menteri Susi banyak menuai pujian, salah satunya Direktur SDSN, Jeffrey Sachs, yang menilai paparan Menteri Susi sangat inspirasional.

Chair SDSN Caribbean David Smith memuji ketegasan Indonesia memberantas penangkapan ikan ilegal dan melindungi ekosistem laut, serta menanyakan bagaimana kebijakan Indonesia tersebut dapat diterapkan di negara-negara kepulauan pasifik.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Susi menyampaikan pentingnya dukungan politik dari pengambil keputusan tertinggi.

Indonesia dapat mengimplementasi kebijakan yang tegas karena mendapatkan dukungan kuat dari Presiden.

Untuk itu, jangan lagi membiarkan kapal asing datang dan masuk untuk menangkap ikan secara ilegal di kawasan perairan nasional.

Karena sejumlah kapal asing pencuri ikan juga diduga melakukan kejahatan lainnya, seperti penyelundupan narkoba, minuman beralkohol, dan binatang-binatang langka dari Indonesia.

Pada akhir 2016, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 44/2016 yang melarang investasi asing masuk ke dalam industri perikanan tangkap.

Harus diakui bahwa sebelum Susi menjadi bagian dari Kabinet Kerja, laut Indonesia banyak didatangi kapal-kapal dari luar negeri untuk mengambil ikan.

Hal tersebut mengakibatkan banyak perusahaan perikanan pada dekade 2000-an berhenti karena jumlah ikan berkurang drastis, disusul dengan menurunnya jumlah profesi nelayan.

"Banyak nelayan di Pulau Jawa beralih profesi dan memilih datang ke Jakarta, karena ikannya habis. Hari itu kita semua tidak tahu kenapa ikan kita habis," tegas Susi.

Pencurian ikan sesungguhnya sudah marak terutama sejak tahun 2001, ketika pemerintah mengizinkan kapal asing untuk berganti bendera menjadi bendera Indonesia dan menangkap ikan di wilayah Nusantara.

Modusnya, izin usaha penangkapan ikan untuk satu kapal namun bisa digunakan sekitar 10 kapal.

Untuk itu, menjaga kedaulatan agar tetap ada, merupakan hal penting yang akan berpengaruh pada aspek keberlanjutan dan kesejahteraan.


Dampak ganda

Harus diakui bahwa pemberantasan pencurian ikan telah terbukti memiliki dampak ganda yang positif dari berbagai aspek perikanan lainnya.

Dengan semakin sedikitnya aktivitas penangkapan ikan ilegal di bumi Nusantara, maka mengakibatkan semakin bertambahnya jumlah stok sumber daya ikan.

Berdasarkan kajian ditemukan stok sumber daya ikan di Indonesia hanya 7,31 juta ton pada 2013 dan 9,93 juta ton pada 2015, maka pada 2017 jumlah stok ikan telah melesat menjadi 12,54 juta ton.

Begitu pula dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Perikanan yang terus meningkat dari Rp189 triliun pada 2014 menjadi Rp204 triliun pada 2015, kemudian Rp214,5 triliun pada 2016, selanjutnya Rp227,3 triliun pada 2017, dan PDB tersebut ditargetkan tumbuh 11 persen pada 2018.

Pemberantasan pencurian ikan juga membuat neraca perdagangan komoditas sektor kelautan dan perikanan Republik Indonesia mengungguli negara-negara lainnya di kawasan ASEAN.

Berdasarkan grafik dari International Trade Center pada 2018, neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2018 sekitar 349.441 dolar AS, berada di atas negara lainnya, termasuk Thailand (120.564 dolar).

Menurut data BPS, nilai ekspor hasil perikanan pada periode Januari-Juni 2018 sekitar 2,2 miliar dolar AS atau meningkat hingga 12,88 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017.

Susi juga mengingatkan bahwa tren produksi perikanan saat ini meningkat, seperti dari 22,3 juta ton pada 2015 menjadi 23,5 juta ton pada 2016, serta 22,79 juta ton pada 2017, dan ditargetkan pada 2018 ini mencapai 24,08 juta ton.


Ambil peluang

Sementara itu, pengamat perikanan Abdul Halim mengharapkan Indonesia dapat mengambil peluang dari sektor perikanan menyusul terimbasnya sektor perikanan China akibat perang dagang dengan Amerika Serikat.

"China sebagai produsen perikanan terbesar di dunia, baik tangkap maupun budi daya, jelas terimbas dengan kenaikan tarif yang dikenakan AS," kata Abdul Halim.
Namun, peluang tersebut sepenuhnya bergantung kepada kesiapan industri perikanan nasional.

Tingginya kurs dolar AS terhadap rupiah bisa berimbas positif apabila didukung pelaku industri domestik dalam memanfaatkan peluang pasar perikanan di AS, sebaliknya berimbas negatif apabila tidak ada kesiapan, apalagi AS menerapkan sejumlah aturan baru untuk produk perikanan ekspor ke negaranya.

Namun, melambungnya nilai tukar rupiah terhadap dolar juga menaikkan ongkos produksi.

Setidaknya ada dua tantangan yang dihadapi pengusaha perikanan, yaitu ketidakpastian iklim usaha di dalam negeri dan persyaratan baru yang diterapkan AS kepada produk perikanan dari Republik Indonesia.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan tersebut, menginginkan pemerintah memperbanyak fasilitas dan intensif bagi pelaku usaha yang ekspor komoditas perikanan secara berkelanjutan.

Tema berkelanjutan juga terasa erat di dalam penyelenggaraan Our Ocean Conference (OOC) 2018 yang rencananya diselenggarakan di Bali, 29-30 Oktober 2018, dan bakal dihadiri enam kepala negara serta sekitar 33 pejabat setingkat menteri.

Dalam OOC tersebut, KKP ingin agar ada mekanisme yang dapat melacak komitmen negara-negara peserta dalam melestarikan laut secara berkelanjutan, contohnya Republik Indonesia sendiri yang akan menerapkan konservasi 20 juta hektare kawasan perairan pada 2020.

Kelestarian kondisi lautan global hal yang penting karena laut adalah masa depan seluruh dunia, dan luasannya lebih besar daripada daratan.

Untuk itu, Indonesia harus mengambil kesempatan ini sebagai tuan rumah agar bisa berteriak lantang, agar negara-negara di dunia berkomitmen mengurangi tingkat kerusakan di laut.

Bila Indonesia bisa bersikap keras terhadap pencurian ikan, maka negara lain juga harus mengikutinya. 
Baca juga: Susi Pudjiastuti telah tenggelamkan ratusan kapal pencuri
Baca juga: Kisah Susi tenggelamkan kapal pencuri ikan masuk New York Times





 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2018