Roppongi, Tokyo (ANTARA News) - Sutradara "Variable No:3" Edwin, menceritakan pengalamannya berkolaborasi dengan dua sutradara Asia saat menggarap proyek film omnibus "Asian Triple-Fold Mirror 2018: Journey" untuk Festival Film Tokyo (TIFF) 2018.

Edwin yang menggarap bagian ketiga film antologi bertema "Journey" itu ternyata cuma dua kali berkomunikasi melalui platform Skype dengan sutradara Jepang Daishi Matsunaga yang menggarap bagian "Hekishu" dan Degena dari China untuk "The Sea".

"Saya Skype, video call dengan pihak terkait, khususnya dengan film-maker, Daishi dan Degena, untuk membicarakan apa interpretasi kami terhadap konsep 'Journey' ini," kata Edwin di Roppongi Hills Tokyo, Jumat (26/10).

Ia mengatakan, konsep "Journey" sudah ditentukan oleh Japan Foundation, sehingga tiga sutradara itu diminta memberikan masukan mengenai ide cerita yang akan dibuat.

"Dari awal sudah dikasih tahu, kami buat sesuatu yang diikat tema 'Journey'. Ceritanya datang dari kami, kami diminta mengusulkan apa ceritanya masing-masing," kata Edwin.

Setelah itu, kata Edwin, tiap-tiap sutradara mengirimkan skrip film satu sama lain agar bisa saling dimengerti jalan ceritanya, kemudian menciptakan benang merah antara ketiga film pendek itu.

"Dari situ kami bisa membaca bagaimana film yang lain. Dan bagaimana ini berkontribusi dalam omnibus ini. Kami saling kasih masukan. Bagaimana respons mereka terhadap skrip, ada juga usulan ide," katanya.

Baca juga: Nicholas Saputra cerita pengalaman pertama syuting di Myanmar
 
(kiri-kanan) Edwin, Oka Antara, Agni Pratistha, dan Nicholas Saputra di TIFF 2018, Tokyo, Jumat (26/10). (ANTARA News/Alviansyah P)



Benang Merah

Dari diskusi "virtual" itu, akhirnya ditentukan bahwa sosok Nicholas Saputra akan tampil pada tiga bagian film untuk memainkan karakter berbeda-beda, namun menjadi penghubung antarketiga film yang akan dirilis di Jepang pada November ini.

"Saya pikir itu hasil obrolan kami bertiga. Bagaimana karakter Nicho memungkinkan untuk muncul dalam film lainnya. Ini memperkuat bahwa tiga film ini harus dirangkai sebagai sebuah kesatuan juga. Ibaratnya diikat menjadi satu paket," kata sutradara berumur 40 tahun itu.

Nicholas Saputra pun mengakui bahwa syuting tiga film di negara yang berbeda menyuguhkan tantangan tersendiri, terutama faktor temperatur dingin di Beijing dan Jepang, serta cuaca panas di Myanmar.

"Tantangannya di tiga negara berbeda adalah cuaca yang utama. Di Beijing di studio, di Tokyo banyak adegan outdoor, itu juga kompleksitaslah. Kami harus prepare," katanya.

Nicho menimpali, "Itulah syuting, untuk mencapai hasil tertentu memang harus menembus zona nyaman."

Baca juga: Film Indonesia butuh perspektif perempuan

Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018