Jakarta, 27/10 (Antara) - Kementerian Perindustrian terus mendorong penguatan "branding" produk perhiasan Indonesia agar lebih berdaya saing di tingkat global  sejalan dengan fokus pemerintah  untuk meningkatkan nilai ekspor.

“Kami memberikan tantangan kepada para anggota Asosiasi Perhiasan Emas dan Permata Indonesia (APEPI) untuk secepatnya menciptakan branding perhiasan asli Indonesia yang lebih kompetitif di pasar internasional," kata Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kemenperin Gati Wibawaningsih melalui keterangannya di Jakarta, Sabtu.

Menurut Gati, perhiasan merupakan salah satu komoditas andalan yang cukup berkontribusi terhadap peningkatan nilai ekspor nasional. 

“Kami mencatat, pada tahun 2017, ekspor perhiasan menyumbang sebesar 2,7 miliar dolar AS. Sementara hingga September 2018, nilai ekspor perhiasan sudah mencapai 1,4 miliar dolar,” ungkapnya.

Untuk menggenjot nilai ekspor perhiasan nasional, Kemenperin telah melakukan inisiasi dan koordinasi dengan pihak  terkait agar produk perhiasan dari Indonesia tidak terkena tarif bea masuk di lokasi negara ekspor seperti Turki dan Uni Emirat Arab (UAE).

“Ekspor perhiasan kita memang banyak ke Dubai dan Turki, tetapi kita masih dikenakan tarif bea masuk ke sana sebesar lima persen, sedangkan Singapura dikenakan bea masuk nol persen ke Dubai,” ujar Gati. 

Menurutnya, Singapura bisa mendapatkan bea masuk nol persen ke Dubai karena mereka  memiliki perjanjian free trade agreement (FTA). Sementara Indonesia  belum memiliki FTA dengan UAE.

“Kami akan berbicara dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan soal bea masuk tersebut. Kami berharap, dengan nanti adanya FTA, tarif bea masuk nol persen itu bukan hanya berlaku untuk perhiasan, tetapi juga komoditas lain,” paparnya.

Langkah strategis lainnya, Kemenperin aktif memfasilitasi IKM perhiasan di dalam negeri ikut partisipasi pada pameran tingkat nasional dan internasional. Tujuannya, selain mempromosikan produk unggulan, juga memperluas jaringan pasar ekspor.

Contohnya, ajang Surabaya International Jewelry Fair (SIJF) 2018 yang merupakan wujud kerja sama antara APEPI dengan Dewan Kerajinan Nasional Provinsi Jawa Timur. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 25-28 Oktober 2018 di Grand Ballroom Shangri La Hotel, Surabaya, Jawa Timur.

Tahun ini, Ditjen IKM Kemenperin memfasilitasi sebanyak 30 pelaku usaha tampil di SIJF 2018 untuk mempromosikan produk perhiasan dan aksesoris terbaik mereka, seperti, perak, emas, berlian, mutiara dan permata serta batu-batuan. 

“Peserta ini memperkenalkan desain perhiasan terbarunya yang diproduksi melalui teknologi terkini, yang tentunya mengikuti tren saat ini,” kata Gati.

Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyampaikan, industri perhiasan merupakan salah satu sektor andalan dalam memacu perekonomian di Jawa Timur. Sampai September 2018, nilai ekspor perhiasan dan permata dari Jatim sudah mencapai Rp45 triliun.

Industri perhiasan di Jatim juga mengalami pertumbuhan yang positif. Pada 2016 tercatat mengalami pertumbuhan 12 persen dan tahun 2018 diperkirakan masih berada di angka dua digit. 

“Tahun lalu di Jatim hanya ada 11 industri perhiasan skala besar dan menengah, dan tahun ini menjadi 26 perusahaan. Sedangkan, yang skala kecil sebanyak 1.854 unit usaha,” ungkapnya. 

Jumlah tersebut menandakan bahwa 50 persen industri perhiasan nasional ada di Jatim. “Setidaknya ada 11 kota/kabupaten yang berpotensi dalam pengembangan industri perhiasan dan aksesoris seperti Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Malang, Lamongan, Pasuruan, Lumajang dan Pacitan,” imbuhnya.

Soekarwo menambahkan, saat ini Jawa Timur menjadi kawasan kumpulan emas terbesar di Asia Tenggara. 

"Hasil dari pengamatan satelit internasional ada 26 ribu hektare (Ha) tambang emas antara Kabupaten Lumajang sampai Malang, kemudian 58 ribu Ha antara Tulungagung sampai Trenggalek, dan yang terbesar di Pacitan hingga 95 ribu Ha. Jadi Jatim ini tempat yang baik karena bahan baku dan proses industri ada disini," ungkap pria yang sering disapa Pakde Karwo.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Wawan Indrawan
Copyright © ANTARA 2018